Infrastruktur dan layanan sehari-hari negara ini sampai hari ini masih bertumpu pada kerja keras imigran yang sederhana. Tapi para pembuat kebijakan, tampaknya, sudah tak sabar ingin mengganti ambang pintu. Mereka seperti ingin menghapus sidik jari berlumpur para pendiri, lalu menggantinya dengan plang nama berlapis emas 24 karat.
Dulu, Negeri Mercusuar ini berjanji pada dunia: yang dihargai adalah apa yang bisa Anda ciptakan dengan tangan sendiri di masa depan. Sekarang? Mereka lebih tertarik pada isi dompet Anda saat ini. Perjuangan orang miskin diawasi ketat, dianggap seperti debu sejarah yang perlu disingkirkan. Sementara itu, satu juta dolar dari orang kaya baru langsung jadi tiket untuk segala hak istimewa.
Ketika Mimpi Amerika diberi label harga, itu jadi simbol berbahaya. Ia menandai kecenderungan mengkomodifikasi kedaulatan negara dan hak-hak warga. Program ini, dengan kilau emasnya, mungkin menjanjikan solusi ekonomi instan. Tapi harga jangka panjangnya bisa mahal sekali: keadilan sosial yang runtuh dan esensi semangat bangsa yang berubah.
Daya tarik sebuah negara besar seharusnya datang dari kebebasan, peluang, dan penegakan hukumnya. Bukan dari harga izin tinggalnya di pasar kekayaan global. Saat pintu masuk mimpi itu dipasangi label harga emas, mimpi itu sendiri sudah kehilangan cahayanya.
Yang seharusnya diupayakan adalah perbaikan sistem imigrasi yang adil, terbuka bagi semua orang yang pekerja keras dan berbakat. Bukan membangun pintu putar mewah yang hanya bisa dilalui oleh satu persen orang terkaya di dunia.
Artikel Terkait
Gen Z Terjepit: Pinjol, Judol, dan Algoritma yang Mengintai
Sepekan Penuh Gejolak di Kalbar: Dari Rob, Tragedi, hingga Ular Numpang di Kap Mobil
Penjajah Baru: Merdeka 80 Tahun, Alam Malah Lebih Terkoyak
Video Viral Pungli, Satpol PP Surabaya Proses Sanksi Berat untuk Oknum Petugas