JANGAN IKUTI MENTERI SESAT: NATAL BERSAMA ITU HARAM
oleh M Rizal Fadillah
Selama ini, peringatan Natal di Kementerian Agama berjalan terpisah. Ditjen Bimas Katolik urusannya sendiri, begitu pula dengan Ditjen Bimas Kristen. Lalu, muncul sebuah gagasan. Menteri Agama, Prof Dr Nasaruddin Umar, MA, punya ide untuk menyatukannya. Kebijakannya adalah menyelenggarakan acara Natal Bersama di tingkat kementerian. Tujuannya, katanya, untuk membangun kebersamaan. Konsekuensinya, peringatan itu nantinya bakal melibatkan tidak hanya dua direktorat jenderal itu, tapi juga Bimas Islam, Hindu, dan seterusnya. Ya, namanya juga acara tingkat kementerian.
Di sinilah masalah mulai muncul. Gagasan itu langsung memantik reaksi keras, terutama dari publik Muslim. Banyak ulama dan aktivis yang menyoroti bahkan mengecam langkah Menag Nasaruddin Umar ini. Latar belakang pendidikannya dan kedekatannya dengan beberapa kelompok Zionis selama ini ikut menjadi bahan pembicaraan. Tak sedikit yang mencapnya sebagai bagian dari Islam moderat yang liberal. Moderasi ala Nasaruddin, bagi mereka, berbau sinkretisme. Pemikirannya pun dianggap sesat, sebuah langkah yang menggerus akidah dan syariah Islam.
Beberapa tindakannya di masa lalu seolah menguatkan kritik itu. Misalnya, saat ia mencium kening Paus atau mengundang tokoh Yahudi, Ari Gordon, ke Masjid Istiqlal. Lalu, ia kerap berbicara tentang toleransi dan kebersamaan. Nah, ide Natal Bersama ini jelas sangat sensitif. Soalnya, sekadar mengucapkan selamat Natal saja pernah memicu kontroversi hebat. Nasaruddin, rupanya, ingin membuat terobosan dengan menggelar acara bersama itu untuk pertama kalinya di lingkungan Kementerian Agama.
Bayangkan jika pegawai Muslim kemudian “terpaksa” atau bahkan sukarela mengikuti ritual Natal Bersama tersebut. Saat itulah, menurut banyak ulama, akidah mereka mulai terancam. Keimanan bisa tergerus, mulai dari sekadar menjadi hipokrit hingga jatuh pada kekufuran. Mereka dianggap telah melanggar ketentuan Allah dalam Surat Al-Kaafiruun.
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.’”
Jadi, intinya jelas: ibadah dan ritual itu jalan masing-masing. Toleransi dalam Islam justru diwujudkan dengan saling menghormati perbedaan itu, bukan dengan mencampuradukkan agenda. Tidak perlu ada acara kebersamaan atau persatuan dalam ritual. Berjalanlah sesuai keyakinan sendiri-sendiri. Itulah makna toleransi sebenarnya.
Artikel Terkait
Prabowo Sambangi Kremlin, Undang Putin ke Indonesia dengan Gurauan
Dari Kelas ke Medan Perang: Kisah Soedirman, Guru Muhammadiyah yang Jadi Panglima
Wakil Wali Kota Bandung Tersandung Kasus Pemerasan Proyek
Warga Mimika Antusias Ikuti Bakti Kesehatan Gratis dari TNI AD