Sembilan Jam di Tengah Banjir: Kisah Perjalanan Mencekam Sudirman Said dan Mitigasi yang Tertinggal

- Rabu, 10 Desember 2025 | 09:30 WIB
Sembilan Jam di Tengah Banjir: Kisah Perjalanan Mencekam Sudirman Said dan Mitigasi yang Tertinggal

Hujan deras mengguyur Banda Aceh siang itu, Selasa 25 November, persis menyambut kedatangan Sudirman Said. Agenda utamanya adalah menghadiri Musyawarah Provinsi Palang Merah Indonesia di Takengon, Aceh Tengah. Sebagai Ketua Bidang Organisasi PMI, ia membuka acara itu malam harinya. Namun begitu acara selesai, Sudirman langsung bergegas kembali ke Banda Aceh. Penerbangan pagi ke Jakarta menunggu esok harinya.

Rencana itu ternyata terlalu optimis.

Hujan lebat yang tak henti sejak Senin telah mengubah segalanya. Perjalanan pulang dari Takengon menuju Bireun, yang biasanya cuma tiga jam, membengkak jadi sembilan jam malam itu. "Kami berhenti terus," jelas Sudirman kemudian. "Ada pohon tumbang, genangan air, lumpur, dan guguran dari bukit. Bahkan di satu titik, jalanan sebelah kanannya sudah runtuh. Kami harus bereskan dulu pohon-pohon yang tumbang itu baru bisa lewat."

Mereka tiba di Bireun pukul tujuh pagi, Rabu. Tapi kota itu sudah lumpuh diterjang banjir bandang. Sudirman pun terjebak di sana selama dua malam. Ia sempat mendatangi tempat-tempat pengungsian, puskesmas, hingga kantor polisi dan koramil. Kesaksian yang didengarnya seragam: sistem lumpuh total. "Listrik mati berhari-hari, jaringan telekomunikasi ikut padam. Backup system di BTS pun ternyata tidak berfungsi," ucapnya.

Setelah dua malam, Kamis pagi ia mencoba menerobos ke Banda Aceh. Perjalanan yang seharusnya empat jam itu berubah jadi petualangan mencekam selama delapan belas jam. Ia menyaksikan arus deras menghanyutkan sepeda motor di depannya. Mobil yang ditumpanginya nyaris bernasib sama setelah nekat menerobos banjir, akhirnya mogok. Sudirman dan tujuh orang lainnya terpaksa pindah ke mobil lain. Barulah Jumat pagi ia bisa terbang pulang ke Jakarta.

Bencana serupa tak hanya terjadi di Aceh. Ratusan kilometer di selatan, di Desa Anggoli, Tapanuli Tengah, keluarga Waldi Azmi juga dilanda kecemasan. Hujan seminggu penuh memicu banjir bandang yang jauh lebih ganas dari perkiraan. Waldi, yang sedang di Sumbar, buru-buru meminta orang tuanya mengungsi.

"Enggak pernah menyangka bakal separah ini," katanya, Minggu 7 Desember. "Ini jauh berkali-kali lipat lebih parah dari banjir sebelumnya."

Rumahnya tertutup lumpur. Sementara di desa tetangga, Garoga, rumah-rumah warga di pinggir sungai hampir rata dengan tanah.

Peringatan yang Sudah Ada

Bencana besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar ini bukan datang tiba-tiba. Prakirawan BMKG Hasmororini Sulistami menyebut, tanda-tanda cuaca buruk sudah terpantau sejak 21 November. Saat itu, Bibit Siklon Tropis 95B terlihat menguat di Selat Malaka.

BMKG pun menyebarkan informasi peringatan dini. Mereka membanjiri media sosial dan grup-grup WhatsApp pemda serta BNPB. "Tujuannya supaya informasinya cepat diterima dan daerah bisa cepat bertindak," kata Hasmororini.

Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu mengaku peringatan itu jadi acuan. Sepekan sebelum bencana, Pemprov Sumut bahkan sudah mengundang para kepala BPBD se-Sumut untuk rapat antisipasi. "Dibahas potensi cuaca ekstrem dan longsor," katanya.

Bahkan lebih awal lagi, akhir September, rapat koordinasi serupa sudah digelar di Langkat. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat itu mengingatkan pentingnya kearifan lokal.

"Jika air sungai mendadak keruh, membawa kayu atau kerikil, itu tanda banjir bandang sudah terjadi di hulu. Masyarakat harus segera menjauh dari sungai," pesan Dwikorita.

Peringatan yang sama juga diterima Bupati Tapanuli Selatan, Gus Irawan Pasaribu. Ia lantas mengumpulkan camat, kades, dan BPBD untuk mitigasi pada Senin 24 November. "Kami ingatkan semua OPD untuk bersiap," ujarnya.

Upaya itu rupanya berbuah hasil. "Di Desa Tolang, 50 rumah tergusur, tapi alhamdulillah tidak ada korban jiwa karena kadesnya sudah mengungsikan warga lebih dulu," kata Gus Irawan.


Halaman:

Komentar