Sembilan Jam di Tengah Banjir: Kisah Perjalanan Mencekam Sudirman Said dan Mitigasi yang Tertinggal

- Rabu, 10 Desember 2025 | 09:30 WIB
Sembilan Jam di Tengah Banjir: Kisah Perjalanan Mencekam Sudirman Said dan Mitigasi yang Tertinggal

Sayangnya, mitigasi dini seperti itu tidak terjadi merata di semua daerah. Akibatnya, korban jiwa di tiga provinsi nyaris menyentuh angka seribu.

Eko Teguh Paripurno, pengamat manajemen bencana, menegaskan bahwa peringatan BMKG seharusnya memicu status siaga darurat dan rencana kontingensi yang matang di tiap daerah. "Bukan cuma rencana evakuasi, tapi juga penyiapan logistik, tempat aman, dan lain-lain," tegasnya.

Respon dan Realita di Lapangan

Siklon Senyar memang memicu hujan ekstrem. Curah hujan di tiga provinsi itu melonjak tiga hingga empat kali lipat dari kondisi normal dalam beberapa hari kritis. Dampaknya luar biasa melumpuhkan.

Di saat-saat genting awal bencana, bantuan pusat tak langsung terasa. Sudirman Said bercerita, dalam perjalanan panjangnya, ia tak melihat personel BNPB, Basarnas, atau petugas vital lainnya. "Masyarakat seperti berjalan sendiri," ujarnya. Ia menduga para petugas di daerah juga sedang menyelamatkan diri dan keluarganya, ditambah komunikasi yang terputus total.

Bupati Tapsel, Gus Irawan, punya cerita lain. Situasi yang sangat mencekam membuatnya tak sempat melapor. Justru Mensesneg dan Seskab yang menghubunginya keesokan harinya untuk menanyakan kondisi. "Saya baru tersentak untuk melapor ke gubernur dan kepala BNPB," akunya. Bantuan pun datang, meski evakuasi awal lebih banyak dibantu TNI-Polri setempat.

Pemerintah pusat memang bergerak. Rapat terbatas di Istana digelar, menteri koordinator turun ke lokasi, dan Presiden akhirnya berkunjung pada 1 Desember. Tapi, ada jeda antara laporan pertama tanggal 25-26 November dengan gelontoran bantuan besar-besaran. Alat berat dan personel dalam jumlah masif tidak serta-merta muncul di hari-hari pertama yang kritis.

Eko Teguh Paripurno mencoba menjelaskan jeda ini. "Kita sering salah paham. Jadi isu nasional bukan berarti sumber daya langsung 'abrakadabra' ada di lokasi. Semua sumber daya itu ada di daerah masing-masing," paparnya. Menurutnya, masalah utamanya adalah ketiadaan data kerentanan yang akurat sebelum bencana, sehingga kesiapsiagaan pun minim.

BNPB, melalui Abdul Muhari, enggan berkomentar soal tudingan keterlambatan. "Yang penting kondisi sekarang terus membaik," katanya, Minggu 7 Desember. Ia menyebut akses jalan sudah pulih 60%, komunikasi 90%, dan distribusi logistik sudah lancar.

TNI mengklaim telah mengerahkan 33 ribu personel, ditambah puluhan pesawat dan helikopter. Polri juga mengirim ratusan personel Brimob dan tenaga kesehatan.

Deteksi Dini yang Terhambat

Ketika bencana mulai menerjang, salah satu korban pertama adalah akses komunikasi. Seperti di Tapanuli Tengah, jaringan putus total sekitar tengah hari tanggal 25 November. "Sulit sekali berkomunikasi," kata Masinton. Ia sendiri mengaku tidak menduga bencana akan separah itu.

Ia sempat melaporkan via Instagram tentang banjir dan longsor yang menelan empat korban jiwa. Tapi skala sebenarnya jauh lebih besar. Listrik di seluruh kabupatennya padam sejak subuh.

Lantas, apakah pemadaman listrik skala luas bisa jadi indikator bencana besar? Manager Komunikasi PLN UID Sumut, Surya Sitepu, menyatakan tidak serta merta. Jaringan listrik bisa trip karena banyak hal, dari ular sampai tupai. "Harus ditelusuri dulu," ujarnya. Meski begitu, informasi gangguan selalu dilaporkan ke pemda dan pusat.

Seorang sumber menyebut, pemda seharusnya tak hanya bergantung pada data listrik. Mereka perlu merangkai data dari berbagai lembaga untuk menilai skala kegentingan. Sebab, listrik bisa padam satu kota tanpa ada bencana besar, seperti yang pernah terjadi di Jakarta. Titik krusialnya adalah bagaimana membaca semua sinyal itu dengan cepat dan tepat, sebelum segalanya terlambat.


Halaman:

Komentar