Pengamat politik Muhammad Said Didu tak segan menyoroti pendekatan Presiden Prabowo Subianto dalam menangani sistem hukum kita. Kritiknya tajam. Menurutnya, upaya perbaikan yang dilakukan saat ini justru berfokus di hilir, bukan pada akar masalahnya di hulu. Hal ini, dalam pandangannya, malah berpotensi memicu maraknya lobi-lobi kekuasaan di belakang layar.
"Kalau mau menyelesaikan dari hulu, ya penegak hukumnya yang diperbaiki. Kompolri, KPK, Kejaksaan. Itu yang dibenahi," ujar Said Didu dalam sebuah diskusi daring, Selasa lalu.
"Tapi ini? Ditunggu di hilir. Kesalahan di hulu baru dikasih amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Pendekatan seperti ini kurang sehat," tambahnya.
Ia khawatir, cara ini hanya akan memindahkan masalah dan membuka ruang untuk tawar-menawar yang tidak transparan.
Amnesti untuk Kasus Korupsi: Langkah yang Bermasalah?
Sebagai mantan pejabat birokrasi dengan pengalaman puluhan tahun, Said Didu secara khusus mempertanyakan wacana pemberian amnesti dalam perkara korupsi. Logikanya sederhana: amnesti biasanya diberikan suatu rezim terhadap keputusan hukum dari era sebelum mereka berkuasa.
"Kalau digunakan oleh rezim yang sedang berkuasa, artinya ada masalah di dalam kekuasaan itu sendiri," tegasnya tanpa tedeng aling-aling.
"Pak Prabowo harus menyadari, masalahnya ada di dalam kekuasaan Bapak sekarang. Maka, perbaikilah hulu penegakan hukumnya."
Tiga Kasus yang Menggambarkan Penyimpangan
Untuk memperkuat argumennya, Said Didu mengurai tiga kasus yang ia anggap mencerminkan carut-marut penegakan hukum. Pertama, kasus Tom Lembong. Ia menggambarkannya dengan analogi sepakbola yang sinis: "Karena tidak bisa gol, maka jaksa memindahkan gawang supaya gol. Tuntutannya diubah di tengah persidangan."
Kedua, kasus Ira Puspadewi yang dinilainya lebih parah lagi. "Gawangnya dipindahkan dan sempritan wasitnya diambil," sindirnya. Ia menyoroti bagaimana audit BPK dan BPKP yang menyatakan tak ada kerugian negara, tiba-tiba dibantah oleh saksi ahli dari ITS yang mengubah status kapal menjadi 'besi bekas' sebuah langkah yang memudahkan penghitungan kerugian.
Kasus ketiga, Charlie Chandra, disebutnya sebagai contoh rekayasa bukti untuk melindungi kepentingan oligarki. "Penyimpangan hukumnya sudah sangat terjadi," kritiknya.
Usulan Radikal: Turunkan 100 Ribu Tentara
Di sisi lain, terkait bencana alam dan kerusakan lingkungan di Sumatera, Said Didu justru mengajukan usulan yang terbilang keras. Ia mendesak agar pemerintah menurunkan sekitar 100 ribu personel TNI untuk mengamankan kawasan dan menghentikan pembalakan liar serta pertambangan ilegal.
Artikel Terkait
Malam Tanpa Ujung di Aceh Tamiang: Warga Bertahan dengan Senter dan Api Unggun
Kakek 79 Tahun Tewas Ditabrak Motor Boncengan Tiga Remaja di Bantul
AKBP Ojo Ruslani Bongkar Modus Penipuan E-Tilang Palsu
Kapolres Tuban Dicopot, Diduga Minta Setoran dan Potong Anggaran