Pernyataan Cak Imin itu pun memicu tanya: kuat yang mana? Kuatnya pemerintah, atau ketahanan warga yang sedang berjuang sendiri menyelamatkan nyawa keluarga mereka?
Keraguan itu makin menjadi ketika pemerintah mengumumkan angka kerusakan. Biaya rekonstruksi diperkirakan mencapai Rp 51,8 triliun. Angka fantastis. Publik pun bertanya-tanya, mampukah menanggungnya sendirian tanpa bantuan dari luar?
Beberapa pejabat berusaha menjelaskan. Penolakan bantuan asing, kata mereka, adalah soal menjaga kemandirian dan koordinasi. Supaya bantuan terkelola dengan baik oleh negara.
Namun begitu, narasi itu sulit dicerna oleh warga yang merasakan langsung pahitnya di lokasi bencana. Video-video yang beredar menunjukkan antrean panjang untuk air bersih, jeritan minta makanan. Realitas itu memperkuat kekhawatiran banyak kalangan.
Apakah negara benar-benar sanggup, atau justru berusaha menutupi ketidakmampuan di lapangan?
Para pengamat kebijakan melihat ini bukan cuma persoalan teknis semata. Keputusan menutup pintu bagi bantuan internasional juga sarat dengan muatan politik dan persepsi. Di saat tekanan begitu besar, sikap terlalu percaya diri justru berisiko. Bisa-bisa malah memperlambat penanganan yang seharusnya bisa lebih cepat dan efektif.
Meski demikian, belum terlambat untuk berubah. Situasi bencana terus berkembang, dan keputusan untuk membuka diri bukanlah sesuatu yang final. Banyak yang berharap pemerintah lebih mengutamakan keselamatan jiwa warganya. Daripada sekadar mempertahankan citra di mata dunia.
Artikel Terkait
Mendikdasmen Turun Langsung ke Aceh Tamiang, Janjikan Dana Revitalisasi untuk Sekolah Korban Banjir
Bupati Aceh Selatan Disanksi Nonaktif Tiga Bulan Usai Umrah Saat Tanggap Darurat
Tri Tito Karnavian: Fondasi Indonesia Emas Dimulai dari Keluarga
Muhammadiyah Galang Infak Jumat untuk Korban Bencana di Sumatera