Di Indonesia, hidup sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) itu berat. Perjuangannya bukan cuma melawan virus di dalam tubuh, tapi juga melawan pandangan sinis dan jari yang mudah menuding. Mereka kerap dicap dengan label buruk: "pendosa", "orang bermoral bejat". Padahal, faktanya, HIV bisa menimpa siapa saja. Penularannya tidak melulu lewat jalur yang dianggap keliru, tapi juga lewat transfusi darah, jarum tidak steril, atau dari ibu ke anak.
Yang ironis, dalam banyak kasus, stigma dan diskriminasinya justru lebih "menular" dan lebih menghancurkan daripada virus itu sendiri. Inilah benang kusut yang paling sulit diurai dalam upaya menangani HIV/AIDS di tanah air.
Virus yang Berubah Jadi "Aib": Sebuah Konstruksi Sosial
Kenapa isu HIV/AIDS begitu lekat dengan moralitas? Menurut kacamata sosiologi, ini murni konstruksi sosial. Masyarakat, secara kolektif, membangun narasi bahwa HIV adalah semacam "hukuman". Nilai agama, norma budaya, dan tak bisa dipungkiri pemberitaan media ikut memperkuat anggapan keliru ini.
Proses pelabelan pun terjadi. Begitu status seseorang terbongkar, label "ODHA" langsung menempel kuat, menggeser identitas utamanya sebagai orang tua, pekerja, atau teman. Mereka lalu diperlakukan layaknya ancaman yang harus dijauhi. Tak jarang, pengucilan terjadi bahkan di tempat kerja.
Penelitian Laure dkk. di Kupang pada 2022 mengonfirmasi hal ini. Banyak ODHA mengalami depresi berat. Pemicunya? Bukan gejala penyakit, melainkan sikap negatif dan penolakan dari lingkungan sekitar.
Di sisi lain, media sering jadi pengeras stigma. Pemberitaan yang sensasional, fokus pada "kesalahan" penderita alih-alih aspek kesehatannya, kian mengukuhkan narasi bahwa ODHA layak dihakimi, bukan ditolong.
Remaja Terjepit: Stigma yang Menghalangi Edukasi
Fenomena yang memprihatinkan justru muncul di kalangan remaja. Data menunjukkan tren peningkatan kasus HIV pada kelompok usia 15-24 tahun. Salah satu akar masalahnya jelas: tabunya pendidikan kesehatan reproduksi.
Di banyak keluarga dan sekolah, topik seksualitas masih dianggap tabu. Akibatnya, remaja yang penasaran akhirnya mencari info dari sumber tak jelas di internet. Mereka tak cuma dapat misinformasi, tapi juga jadi enggan tes atau berobat. Alasannya klasik: takut ketahuan dan dicap buruk. Alih-alih mencegah, stigma malah membuka pintu bagi perilaku berisiko dan menutup akses ke layanan kesehatan.
Artikel Terkait
Bupati Aceh Selatan Disanksi Nonaktif Tiga Bulan Usai Umrah Saat Tanggap Darurat
Tri Tito Karnavian: Fondasi Indonesia Emas Dimulai dari Keluarga
Muhammadiyah Galang Infak Jumat untuk Korban Bencana di Sumatera
Neraka di Kemayoran: 22 Nyawa Melayang dalam Kebakaran Gedung Terra Drone