Coba lihat bagaimana manusia merespons sifat bumi yang "Tamuur" tadi. Gunung berapi bisa meledak kapan saja. Itu hukum alam. Kita tak mungkin menyumbat kawahnya. Tapi dengan ilmu geologi dan teknik sipil, kita bisa berdamai. Dibuatlah saluran penyaluran lahar dan bendungan sabo. Logikanya sederhana: "Silakan lahar lewat, tapi lewat jalur yang sudah kami siapkan. Jangan ganggu pemukiman warga."
Ini tawakal yang cerdas, bukan?
Hal serupa terjadi dengan air. Hujan itu rahmat, tapi tanah yang tertutup beton sering menolaknya. Akibatnya? Banjir datang, bencana lagi.
Maka hadirlah solusi seperti danau buatan atau lubang biopori yang sederhana.
Ya, lubang biopori kecil di halaman rumah itu sejatinya adalah jawaban praktis kita atas ayat Al-Mulk. Saat menggali lubang itu, kita seperti berkata, "Ya Tuhan, aku tahu bumi ini bisa mendatangkan masalah kalau tidak dirawat. Maka aku siapkan jalur untuk air, agar tanah tidak jenuh, agar kami bisa selamat."
Pada Akhirnya
Jadi, menjadi religius bukan berarti pasrah buta menunggu takdir. Justru, orang yang paling paham ayat Al-Mulk barangkali adalah insinyur yang merancang bangunan tahan gempa, ahli tata kota yang merencanakan waduk resapan, atau kita yang rajin membuat lubang biopori.
Rasa "tidak aman" yang ditanamkan ayat itu sebenarnya energi positif. Ia mendorong kita untuk terus belajar, bersiap, dan membangun peradaban yang lebih tangguh. Sebab, rasa aman sejati bukan datang dari ketidaktahuan, melainkan dari persiapan ilmu dan kepasrahan hati yang tepat.
Sayangnya, seringkali manusia justru menggali kuburnya sendiri dengan merusak lingkungan. Tapi itu cerita untuk lain waktu.
Bekasi, 091225
AAAA
Artikel Terkait
Bupati Mempawah Serukan Peran Perempuan Perkuat Pemerintahan Bersih di Forum KPK
Singkawang Percepat Harmonisasi Aturan Standar Pelayanan Minimal
Gelombang Emas Golden Retriever Serbu Buenos Aires untuk Rekor Dunia
Gempuran LGBT dan Ancaman Runtuhnya Generasi: Alarm yang Tak Boleh Diabaikan