Menuntut Tanggungjawab Korporasi Sawit dan Tambang
Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Mengapa kita mesti menuntut pemilik korporasi sawit dan tambang? Bukankah kedua industri ini jadi primadona penyumbang devisa? Pertanyaan itu wajar. Tapi coba kita lihat lebih dalam. Seberapa besar sebenarnya kontribusi mereka bagi perekonomian rakyat kecil? Apalagi jika dikaitkan dengan luasnya lahan hutan yang mereka kuasai sekitar 70% dari 191 juta hektar daratan Indonesia dan dampak deforestasi yang memicu bencana alam berulang.
Dulu, sekitar 1950-an, hutan kita ibarat gadis perawan. Luasnya mencapai 162 juta hektar, menjadi tutupan dan pelindung lingkungan hidup yang sempurna. Namun, semuanya berubah ketika pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan pemberian izin konsesi. Izin ini pada dasarnya adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pihak lain, biasanya perusahaan swasta, untuk memanfaatkan sumber daya alam.
Artinya, konsesi memainkan peran sentral. Di satu sisi, ia menggerakkan roda ekonomi. Di sisi lain, ia memberikan hak istimewa kepada korporasi untuk mengelola aset negara yang sangat berharga. Lalu, timbul pertanyaan kritis: sebenarnya, kepada siapa saja izin konsesi untuk hutan sawit dan tambang itu diberikan?
Nah, tulisan ini mencoba mengurai hubungan yang rumit itu. Antara kebijakan pemberian izin, menyusutnya hutan kita, kekayaan para pemegang konsesi, dan dampak buruk deforestasi yang kita rasakan bersama.
Kebijakan Konsesi yang Ugal-ugalan
Data awal tentang “kehijauan” Indonesia bisa dilacak dari Peta Vegetasi terbitan Dinas Kehutanan tahun 1950. Kala itu, hampir 84 persen daratan kita adalah hutan primer. Kini, menurut BPS (2021), tutupan hutan tinggal 101,22 juta hektar. Penyusutan paling parah terjadi di Kalimantan dan Papua, masing-masing berkurang ratusan ribu hektar dalam periode singkat.
Apakah penyusutan ini terkait langsung dengan kebijakan konsesi? Faktanya, sejak era Orde Baru, izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sudah digelontorkan. Dari 1967 hingga 1980 saja, terbit 519 izin HPH yang mencakup area seluas 53 juta hektar. Kebijakan ini didukung penuh oleh UU Penanaman Modal Asing dan UU Kehutanan saat itu.
Tak hanya HPH, pelepasan hutan untuk tambang dan perkebunan lewat skema Hutan Tanaman Industri (HTI) juga masif. Logikanya, HTI untuk meningkatkan kualitas hutan produksi. Namun di lapangan, yang terjadi justru alih fungsi besar-besaran. Hingga pertengahan 1998, ada 625 izin HPH dengan luas hampir 70 juta hektar.
Yang memprihatinkan, pasca reformasi, pemberian izin konsesi bukannya makin ketat. Malah berlanjut secara brutal. Dari sisa 16,93 juta hektar izin aktif era Orba, bertambah lagi 52,57 juta hektar diaktifkan di era Presiden Megawati, SBY, dan Jokowi.
Ambil contoh di Kalimantan. Tahun 2000, ada 37 perusahaan dengan konsesi 6,2 juta hektar. Setahun kemudian, melonjak jadi 75 perusahaan menguasai 8,3 juta hektar. Sementara di era SBY, tercatat lebih dari 10 juta hektar konsesi tambang diterbitkan. Menteri LHK Siti Nurbaya pernah membenarkan hal ini. Ia menegaskan, lebih dari 91 persen pelepasan kawasan hutan dalam 36 tahun terakhir terjadi sebelum pemerintahan Jokowi.
“Justru lebih dari 91 persen pelepasan kawasan hutan, atau seluas lebih dari 6,7 juta hektare, selama 36 tahun terakhir, berasal dari pemerintahan sebelumnya,” ujarnya.
Jika dirinci, total pelepasan hutan 1984-2020 mencapai 7,3 juta hektar. Sebanyak 6,7 juta hektar di antaranya meliputi 746 izin diberikan sebelum Oktober 2014. Artinya, di era SBY, izin konsesi hutan yang diterbitkan bisa mencapai 25 juta hektar.
Sementara data KLHK 2024 menyebut luas hutan Indonesia kini 120 juta hektar, dengan 57,1% di antaranya adalah hutan produksi. Yang mengkhawatirkan, terjadi ekspansi besar-besaran untuk perkebunan sawit seluas 16 juta hektar.
Laporan Walhi dan Auriga Nusantara menyebut, di era Jokowi pun izin konsesi yang diberikan mencapai 11,7 juta hektar. Jika dijumlah, total konsesi di tiga era pemerintahan pasca-reformasi itu mencapai 68,52 juta hektar. SBY tercatat sebagai presiden yang menerbitkan izin terluas: 31,52 juta hektar.
Lalu, siapa yang diuntungkan? Dan seberapa besar kekayaan yang mereka peroleh dari hak eksklusif itu?
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam