Konsesi Sawit dan Tambang: Kekayaan Triliunan di Balik Deforestasi

- Selasa, 09 Desember 2025 | 10:25 WIB
Konsesi Sawit dan Tambang: Kekayaan Triliunan di Balik Deforestasi

Kekayaan Para Konsesor: Melampaui APBN

Jawabannya sungguh mencengangkan. Nilai ekonomi yang diraup pemegang konsesi atau konsesor ternyata fantastis. Menurut Forbes di awal Desember 2025, total kekayaan 20 korporasi terkaya Indonesia mencapai US$267 miliar, atau setara Rp4.400,3 triliun.

Angka itu luar biasa. Ia setara dengan 117,7% dari total APBN 2025 yang ‘hanya’ Rp3.621,3 triliun. Mayoritas dari mereka adalah pemegang izin konsesi hutan untuk tambang dan sawit.

Prajogo Pangestu, bos Barito Pacific, masih bercokol di puncak dengan kekayaan US$42 miliar. Disusul Low Tuck Kwong (US$24,5 miliar). Sementara kekayaan terendah dalam daftar 20 besar itu ada di tangan Manoj Punjabi, ‘hanya’ US$3,6 miliar. Chairul Tanjung dengan CT Corp-nya ada di peringkat 14.

Di sektor sawit, keluarga Widjaja pemilik Sinar Mas Group adalah raja. Perusahaan mereka, Golden Agri Resources, mengelola 536.000 hektar kebun sawit dengan kekayaan sekitar US$18,9 miliar. Di belakangnya ada Salim Group lewat Indofood Agri Resources (konsesi 288.649 hektar), dan Martua Sitorus (eks-pemilik Wilmar) dengan 230.951 hektar.

Masih ada Sukanto Tanoto, Hashim Djojohadikusumo, dan sederet nama lain. Total kekayaan 12 pemegang konsesi sawit terbesar ini mencapai US$65,5 miliar. Belum lagi korporasi tambang seperti Bakrie Group, Adaro, atau Medco yang juga menguasai puluhan hingga ratusan ribu hektar lahan konsesi.

Kekayaan segitu jelas tidak tumbuh dalam semalam. Ia bersumber dari kebijakan pemberian konsesi yang berlangsung puluhan tahun. Maka, pertanyaan berikutnya tak bisa dihindari: di mana tanggung jawab mereka atas deforestasi yang terjadi?

Kewajiban yang Terlupakan

Dari 68,52 juta hektar hutan produksi itu, kerusakan terjadi masif. KLHK mencatat deforestasi hutan alam seluas 2,7 juta hektar pada 2013-2017. Kajian Forest Watch Indonesia (FWI) lebih keras: kerusakan mencapai 5,7 juta hektar, dengan separuhnya terjadi di dalam area konsesi.

Dengan kekayaan yang sedemikian fantastis, wajar saja publik kini menuntut pertanggungjawaban. Ini soal moral dan ekonomi. Negara telah memberikan hak eksklusif, kini saatnya korporasi ikut memulihkan kerusakan yang ditimbulkan.

Tuntutan ini makin mendesak setelah banjir bandang menerjang Aceh, Sumut, dan Sumbar yang diduga kuat terkait degradasi lingkungan di hulu. Bencana itu menelan korban jiwa hingga seribu orang dan menghancurkan lebih dari 10.400 rumah. Kita tidak boleh menunggu hingga terjadi “banjir manusia” seperti di Nepal September 2025 lalu.

Bencana seharusnya jadi pemicu untuk mengkaji ulang penyebab deforestasi, bukan malah membuka konsesi baru. Nyatanya, deforestasi netto justru meluas 175,4 ribu hektar di tahun 2024.

Korporasi pemegang konsesi tak boleh mau enak sendiri. Hanya mengejar laba, sementara kerusakan lingkungan dibebankan kepada publik. Mereka harus bertanggung jawab secara paralel. Salah satu caranya, berdonasi menyisihkan sebagian kecil kekayaannya katakanlah 10% untuk rehabilitasi. Jumlahnya mungkin sekitar Rp335 triliun. Bagi mereka, angka ini tidak akan membuat jatuh miskin.

Inisiatif pemberian lahan eks-PKP2B kepada ormas seperti NU dan Muhammadiyah, yang telah diatur dalam PP, juga perlu didorong. Sebab, operasi tambang batu bara, bauksit, dan nikel di masa lalu telah menyisakan kerusakan lingkungan yang nyata.

Yang kita tuntut sekarang sederhana: partisipasi aktif dalam memelihara lingkungan. Itu bukan hanya wujud ketaatan pada Pancasila atau prinsip ekonomi konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Lebih dari itu, ia adalah bentuk nyata solidaritas untuk meringankan beban korban bencana.

Semoga Presiden Prabowo Subianto konsisten dengan visi Asta Citanya. Membangun ekonomi rakyat lewat koperasi, bukan hanya menguntungkan korporasi. Tujuannya kemakmuran bersama, bukan untuk segelintir orang saja. Konsistensi itu sangat kita butuhkan sekarang.


Halaman:

Komentar

Terpopuler