Pertanyaan yang dulu terdengar retoris, sekarang seperti penghakiman. Saat netizen membandingkan visual banjir 2025 kayu gelondongan, sedimentasi, tanah longsor dengan cuplikan film itu, mereka menemukan kemiripan yang terlalu pas untuk disebut kebetulan. Dokumenter itu populer lagi bukan tanpa sebab. Ia seperti rekaman masa depan yang gagal kita cegah.
Hutan yang Terjepit
Hutan Indonesia sudah lama hidup dalam ketegangan. Di meja birokrasi, ia berubah jadi angka di atas kertas konsesi. Di meja politik, ia jadi alat tukar. Di meja perusahaan, ia ada di laporan laba rugi. Tapi bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, di kaki gunung, di desa-desa terpencil, hutan bukan cuma lahan. Ia adalah penyangga hidup. Saat hutan hilang, merekalah yang pertama kena terjangan. Banjir 2025 dengan terang menunjukkan bagaimana masalah ekologi berkelindan dengan politik: pengawasan yang lemah, kebijakan konservasi yang plin-plan, sampai pembiaran terhadap illegal logging yang selalu disebut tapi tak pernah tuntas.
Suara dari Lapangan
Di gampong-gampong Aceh dan desa-desa Sumatra Barat, warga menolak kalau bencana ini cuma disebut "karena hujan lebat". Mereka melihat sendiri kayu-kayu besar terbawa banjir. Mereka menyaksikan lereng yang gundul. Mereka ingat sungai yang puluhan tahun tenang, tiba-tiba jadi ganas. Kalau bencana adalah cermin, maka kita sedang dipaksa bercermin tanpa filter. Hutan yang kita abaikan, kini mengirimkan balasannya.
Pelajaran yang Ditolak, Bayaran yang Datang
Pada akhirnya, Years of Living Dangerously bukan cuma film dokumenter. Ia adalah surat peringatan. Dan bencana Sumatra 2025 adalah jawaban dari negeri yang mengabaikan isi surat itu. Film itu memotret dengan akurat apa yang terjadi hari ini. Ironisnya, kita sering marah pada bencananya, tapi alpa pada penyebabnya. Kita sibuk menyalahkan cuaca, tapi lupa bahwa cuaca ekstrem baru jadi bencana ketika kita sudah mencabut perisai alami yang menahannya.
Menghubungkan film itu dengan banjir 2025 bukan sekadar refleksi. Itu pengingat bahwa krisis ekologi punya timeline-nya sendiri. Ia tak peduli periode anggaran atau masa jabatan. Setiap tebangan, setiap pembakaran, setiap izin yang ceroboh semuanya menumpuk dan akhirnya menagih bayaran.
Masa Depan yang Harus Dipilih
Kalau film itu bilang kita sudah "hidup dalam bahaya", maka banjir Sumatra 2025 membuktikan kita sedang "membayar bahaya itu". Memulihkan hutan yang rusak butuh waktu puluhan tahun. Tapi keputusan untuk memulai perbaikan bisa diambil hari ini juga. Dengan menata ulang perizinan, memperketat pengawasan, memulihkan daerah hulu, dan yang paling penting mengakui bahwa bencana ini bukan takdir semata. Ia adalah hasil dari pilihan.
Kita tidak kekurangan peringatan. Yang kurang adalah kemauan untuk mendengar.
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Universitas Bung Hatta, Padang, Sumbar.
Artikel Terkait
Pernikahan Beda Agama di Indonesia: Saat Cinta Harus Tunduk pada Aturan
Pekan Kedua, Aceh Tamiang Masih Terjepit di Reruntuhan dan Debu
Pernikahan Beda Agama Berakhir di PN, Ini Alasan Hukumnya
Campur Sari Pernikahan Beda Agama, Berakhir di PN dalam Setahun