Panggilan Xi-Trump dan Langkah Jepang: Taiwan dalam Pusaran Narasi Pascaperang

- Minggu, 07 Desember 2025 | 23:25 WIB
Panggilan Xi-Trump dan Langkah Jepang: Taiwan dalam Pusaran Narasi Pascaperang

Pembicaraan telepon antara Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump pada 24 November lalu menyisakan catatan penting. Keduanya kembali menegaskan konsensus yang pernah dibahas di Busan, membahas kondisi terkini hubungan bilateral, dan tak lupa, bertukar pandangan soal Taiwan. Dalam percakapan itu, Xi menegaskan bahwa kembalinya Taiwan ke pangkuan Tiongkok adalah bagian tak terpisahkan dari tatanan dunia pascaperang.

Menanggapi hal itu, Trump menyatakan AS memahami betul arti strategis isu Taiwan bagi Tiongkok. Dia juga mengakui peran penting Tiongkok dalam kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II. Di tengah tantangan terhadap tatanan lama dan munculnya faktor ketidakstabilan baru di kawasan, komunikasi langsung antar pemimpin seperti ini jelas punya makna. Ini menunjukkan bahwa, setidaknya di tingkat tertinggi, ada pemahaman bersama tentang prinsip-prinsip mendasar.

Namun begitu, langkah-langkah yang diambil pemerintahan Sanae Takaichi di Jepang belakangan ini justru mengarah ke arah berbeda. Tokyo terlihat aktif memanfaatkan isu Taiwan untuk memberi tekanan pada Beijing. Motifnya? Mereka berusaha menggeser narasi. Alih-alih dilihat sebagai bagian dari penyelesaian pascaperang, opini internasional didorong untuk melihat Taiwan semata sebagai persoalan keamanan kawasan biasa.

Di balik itu, ada tujuan yang lebih dalam. Jepang, sebagai “negara kalah perang”, punya berbagai batasan di bidang militer dan keamanan. Dengan mendorong isu Taiwan, mereka berharap bisa melonggarkan batasan-batasan struktural itu. Pada akhirnya, semua ini menciptakan momentum untuk amendemen Konstitusi Damai mereka. Pernyataan-pernyataan Takaichi bukan cuma menyentuh urusan sensitif Tiongkok, tapi juga mengganggu fondasi tatanan internasional yang terbentuk pasca-1945. Hasilnya, ketidakpastian di kawasan makin bertambah.

Nah, soal tatanan pascaperang ini penting untuk diingat. Kembalinya Taiwan ke Tiongkok adalah salah satu hasil konkret kemenangan Perang Dunia II. Deklarasi Kairo tahun 1943 sudah tegas: Jepang harus mengembalikan semua wilayah Tiongkok yang direbutnya, termasuk Taiwan dan Kepulauan Penghu. Prinsip ini kemudian ditegaskan lagi oleh Deklarasi Potsdam tahun 1945, yang ditandatangani Jepang dalam Instrumen Penyerahan Dirinya di bulan September tahun itu.

Jadi, langkah-langkah Jepang sekarang ini jelas bertentangan dengan komitmen historis itu. Juga bertolak belakang dengan prinsip Satu Tiongkok yang diakui luas. Kalau kita membiarkan kerangka pascaperang dirusak melalui isu krusial seperti Taiwan, sama saja kita mengabaikan pengorbanan besar negara-negara sekutu anti-fasis dulu. Itu sesuatu yang sulit diterima oleh siapa pun yang masih menjunjung perdamaian.

Yang mengkhawatirkan, sebagian kalangan politik di Jepang sedang gencar mendorong narasi baru. Mereka berusaha menafsir ulang sejarah dengan berpatokan pada “sistem San Francisco”, lalu mengatasnamakan “keamanan kawasan” untuk melemahkan prinsip Satu Tiongkok. Tindakan semacam ini bukan cuma mengingkari fakta dan melawan hukum internasional, tapi juga menggerogoti fondasi perdamaian yang sudah bertahan delapan puluh tahun.


Halaman:

Komentar