Jakarta dan Bandung? Koneksinya sudah luar biasa lengkap. Ada tol yang selalu padat, kereta api dari yang reguler hingga Argo, lalu ada juga pilihan travel dan bus. Belum lagi si kereta cepat Whoosh yang bisa melesat hanya dalam setengah jam lebih. Di tengah kemewahan pilihan ini, rencana Kereta Kilat Pajajaran tiba-tiba mencuat lagi. Publik pun bertanya-tanya: untuk apa lagi?
Pertanyaannya sederhana, tapi mendasar. Apakah koridor yang sudah jenuh ini benar-benar butuh moda baru, sementara di sudut lain Jawa Barat, akses dasar masih jadi barang mewah?
Kesenjangan yang Mencolok di Selatan
Coba lihat ke selatan. Garut, Tasikmalaya, Ciamis. Wilayah-wilayah ini seperti hidup di dunia yang berbeda. Mobilitas antar kabupaten seringkali tersendat. Jalur nasional rawan putus karena longsor, terutama di titik-titik kritis seperti Jalur Gentong yang jadi mimpi buruk setiap musim hujan atau liburan panjang.
Jalur kereta? Sempat dihidupkan sampai Garut, lalu mandek. Sambungan ke Tasikmalaya dan Banjar masih sekadar wacana. Padahal, coba bayangkan jika rel itu benar-benar tersambung. Bukan cuma soal kenyamanan, tapi pintu ekonomi baru bisa terbuka. Logistik UMKM mengalir lebih lancar, pariwisata yang terpendam bisa bangkit.
Sulit diterima akal sehat. Di satu sisi, selatan berjuang untuk sekadar bisa terhubung dengan layak. Di sisi lain, perhatian dan anggaran besar justru dikerahkan untuk menambah pilihan di koridor yang sudah sangat terlayani.
Jakarta-Bandung: Sudah Cukup, Bahkan Lebih
Mari kita bicara fakta. Koridor Jakarta-Bandung mungkin adalah yang paling dijejali pilihan transportasi di seluruh Indonesia. Tol Cipularang, ditambah ruas tol baru yang akan beroperasi. Layanan kereta dari yang ekonomi sampai premium. Dan Whoosh, yang dengan teknologinya, membuat klaim Kereta Kilat Pajajaran soal waktu tempuh 90 menit jadi terasa kurang greget.
Dengan kondisi begitu, kehadiran proyek baru ini terasa janggal. Ia berpotensi besar hanya menjadi alternatif kelas dua. Waktunya lebih lambat, teknologinya belum tentu lebih baik, dan manfaat ekonominya dipertanyakan. Ini yang bikin banyak orang curiga. Jangan-jangan, ini cuma proyek simbolik belaka? Sekadar ingin menunjukkan bahwa ada "pencapaian" baru, meski kebutuhan riilnya minim.
Menurut sejumlah pengamat, inilah persoalannya. Pembangunan kerap terjebak pada gengsi, bukan pada pemerataan.
Prioritas yang Terbalik
Pembangunan yang progresif itu seharusnya adil. Ia harus menyentuh mereka yang tertinggal, bukan terus memanjakan yang sudah maju. Alokasi anggaran dan energi politik harusnya lebih berpihak pada pengurangan kesenjangan.
Artikel Terkait
Bencana Aceh dan Sumatera: 867 Tewas, Ratusan Ribu Warga Mengungsi
Banjir Sumatra: Saat Air Bah Menguji Iman dan Nurani Manusia
Wartawan Diusir dan Diancam Saat Selidiki Dugaan Keracunan Makanan di Ngawi
Banjir Aceh dan Menteri yang Menyebut Gelondongan Kayu Telanjang