Kesalehan Kosmetik: Ketika Ibadah Hanya Jadi Hiasan Tanpa Nurani

- Kamis, 04 Desember 2025 | 11:25 WIB
Kesalehan Kosmetik: Ketika Ibadah Hanya Jadi Hiasan Tanpa Nurani

Agama Pembebasan: Melawan Kesalehan yang Membunuh Kemanusiaan

Firman Tendry Masengi
Aktivis 98 / Alumni GMNI

Gegap gempita kesalehan hari ini seringkali cuma pajangan. Seperti perhiasan di etalase, ia dipamerkan. Tapi di balik itu, ada kehancuran yang memalukan. Agama direduksi jadi sekumpulan ritual tanpa nurani. Ibadah berubah jadi kosmetika spiritual belaka. Shalat, yang seharusnya menggerakkan, malah jadi alat pelarian dari tanggung jawab kita sebagai manusia.

Hadits agung “khairunnās anfa‘uhum lin-nās” sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain sekarang seperti mayat. Terkapar di pinggir jalan. Ditinggalkan oleh umat yang, maaf, mabuk pahala dan pekak terhadap jeritan mereka yang tertindas. Fondasi teologi pembebasan itu kini terlupakan.

Gustavo Gutiérrez, bapak Teologi Pembebasan dari Amerika Latin, punya pandangan keras soal ini. Baginya, agama kehilangan makna kalau tidak berpihak pada yang menderita.

tulisnya. Bukan menidurkan nurani di balik doa-doa panjang yang steril dari aksi nyata. Teologi itu lahir dari jeritan, bukan dari menara gading. Jadi, ketika ibadah tak melahirkan pembebasan, ia cuma jadi alat penindas yang dipoles pakai nama Tuhan. Ironis, bukan? Lahirlah umat yang mengira diri calon penghuni surga, tapi diam-diam jadi arsitek neraka dunia.

Ibadah yang Kehilangan Jiwa

Ambil contoh shalat. Pilar agama ini sering berubah jadi monumen kosong. Saf-saf diluruskan dengan sempurna, tapi cuma merapikan barisan tubuh. Persaudaraan? Itu lain cerita. Ruku’ dan sujud dilakukan dengan ketelitian teknis tinggi, namun tanpa kegelisahan moral sedikitpun. Umat menekuk punggung di hadapan Tuhan, tapi menegakkan dada di hadapan sesama yang hancur oleh ketidakadilan.

Lihatlah masjid-masjid megah yang berdiri bak istana. Gema ayat suci bergema keras di dalamnya. Tapi suara tangis orang miskin, jerit buruh yang dieksploitasi, tak pernah sampai ke telinga. Ini ironi yang kejam. Jutaan orang melafalkan doa meminta dijauhkan dari api neraka, tapi hati mereka beku menyaksikan neraka dunia yang nyata.

Neraka upah murah. Neraka tanah yang dirampas. Neraka seorang ibu tak mampu beli obat untuk anaknya. Neraka buruh migran pulang dalam peti mati.

Gutiérrez punya istilahnya: “mistik yang memutus realitas.” Agama yang hanya menatap langit sambil membiarkan bumi terbakar. Kesalehan yang menolak politik dan pembelaan pada korban adalah palsu. Sebab, cinta pada Tuhan harus nyata dalam pembebasan konkret manusia dari struktur yang zalim. Mereka takut pada neraka Tuhan, tapi tenang-tenang saja menciptakan neraka sosial.

Kesucian yang Cuma di Permukaan

Mari kita tertawa. Tawa getir, tentu saja, melihat tragedi ini.

Orang shalat tahajud, tapi esok paginya merancang skema korupsi. Orang menyempurnakan bacaan surat Al-Qur'an, lalu menyempurnakan pula eksploitasi pada buruhnya. Bersedekah seribu rupiah untuk konten media sosial, tapi mencuri miliaran di balik layar. Menangis dalam sujud panjang, tapi air mata untuk penderitaan orang lain justru mengering.

Betapa absurd keadaannya. Kita berlomba dapat pahala, tapi tidak berlomba untuk menjadi manusia yang sebenarnya.

Ritual tanpa kemanusiaan bukanlah kesalehan. Itu karikatur agama. Komedi hitam ibadah. Kuburan spiritual yang cuma dibungkus sajadah hias nan indah.

Gutiérrez mengingatkan kita. Spiritualitas yang tidak mencabik struktur ketidakadilan hanyalah candu. Pengalihan perhatian biar umat merasa suci, tanpa perlu bertanya: siapa yang mati agar kita bisa hidup nyaman? Kesalehan kosmetik adalah industri ilusi. Memproduksi simbol-simbol kudus untuk menutupi fakta pahit: agama telah jadi mesin yang menormalisasi penindasan.


Halaman:

Komentar