Presiden Prabowo Subianto akhirnya memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi, mantan Dirut PT ASDP yang sebelumnya divonis 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus korupsi. Langkah ini tak hanya untuk Ira, tapi juga menyentuh dua mantan direktur lainnya: Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf Hadi.
Menurut Iwan Setiawan dari Indonesia Political Review (IPR), keputusan ini bukan sekadar soal pemulihan nama baik. Lebih dari itu, ini adalah penegasan bahwa negara punya peran untuk memulihkan, bukan cuma menghukum. Prosesnya sendiri disebutnya lahir dari aspirasi publik yang disalurkan lewat DPR, bukan dari tekanan politik semata.
“Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam keterangannya menegaskan bahwa sejak Juli 2024, berbagai aduan masyarakat mengenai kasus ASDP diterima DPR. Aspirasi tersebut kemudian tidak berhenti pada ruang keluhan, tetapi diolah melalui mekanisme konstitusional: pengkajian oleh Komisi Hukum DPR yang melibatkan pakar serta analisis mendalam terhadap proses penyelidikan,” jelas Iwan dalam pernyataannya, Selasa (25/11).
Dari situ, aspirasi itu kemudian disalurkan ke pemerintah. Intinya, publik meminta negara meninjau ulang putusan yang dianggap bermasalah secara substansial.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Hukum juga mendapat banyak masukan dari masyarakat. Mensesneg Prasetyo Hadi menyebut, setelah telaah internal dan rekomendasi resmi dari Menteri Hukum, akhirnya Presiden Prabowo memutuskan untuk menandatangani rehabilitasi bagi ketiga eks pejabat ASDP itu.
“Langkah ini menunjukkan sebuah pesan penting: negara tidak membiarkan pelayan publik dibiarkan sendirian ketika menghadapi proses hukum yang berpotensi keliru. Rehabilitasi dari Presiden bukanlah ‘kebaikan hati personal’, tetapi sebuah koreksi negara terhadap potensi ketidakadilan,” tegas Iwan.
Dia juga melihat dampak psikologis dari keputusan ini cukup besar, terutama di lingkungan BUMN dan pelayanan publik. Di tengah ekosistem yang sarat regulasi, ketakutan mengambil keputusan sering kali lebih besar daripada keberanian berinovasi.
“Ketika risiko kriminalisasi muncul meski seseorang bekerja sesuai prosedur, inovasi mandek dan pelayanan publik terhambat. Pada titik ini, rehabilitasi bukan hanya soal tiga nama, melainkan sinyal bahwa negara hadir untuk memberi keberanian kepada profesional yang bekerja jujur,” tuturnya.
Menurut Iwan, keputusan ini menegaskan bahwa penegakan hukum harus adil, transparan, dan proporsional. Negara tak boleh cuma jadi mesin penghukum, tapi juga wajib menjaga martabat warganya.
“Ketika prosedur hukum berpotensi melukai orang yang bekerja sesuai aturan, negara memiliki kewajiban moral untuk membetulkannya,” tambahnya.
Dari kasus ASDP ini, Iwan menilai pemerintah sedang membangun tata kelola baru dalam penanganan hukum terhadap pejabat publik. Profesionalisme dalam pelayanan publik harus dilindungi, bukan dikorbankan.
“Keputusan Presiden Prabowo hadir sebagai respons terhadap suara publik, tetapi bukan sekadar populisme. Keputusan ini lahir dari kajian, rapat terbatas, dan mekanisme konstitusional yang ditempuh oleh DPR dan pemerintah. Ini adalah praktik demokrasi yang matang: berbasis aspirasi rakyat, diproses oleh institusi negara, dan diputuskan oleh kepala negara,” papar Iwan.
Artikel Terkait
Kebhinekaan dan Semangat Baru Warnai Peringatan Hari Guru di SRMA 10 Jakarta
Tiga Eks Dirut ASDP Segera Bebas Usai Prabowo Beri Rehabilitasi
Di Balik Kisah Viral, Nurhadi Berjuang Kembali Bangun Rental PS untuk Hidup Mandiri
Biaya Haji 2026 Dipangkas, Calon Jemaah Bisa Hemat Sampai Rp 3 Juta