Pertanyaan yang terus mengusik: mengapa program ini dijalankan secara terkomando dan sentralistik? Mengapa menutup keragaman pangan lokal, sementara yang diuntungkan justru kepentingan tentara, polisi, dan pemilik modal besar?
Dalam analisis saya, hanya satu kesimpulan yang masuk akal: program sebesar ini adalah bentuk "bancakan politik" yang dijalankan oleh elit, untuk kepentingan elit juga.
Ambil contoh Yayasan Yasika. Mustahil mereka bisa memiliki 41 Sentra Pangan dan Pakan Gotong Royong (SPPG) – dan akan terus bertambah – jika bukan karena Yasika adalah putri politisi Gerindra.
Berdasarkan wawancara di berbagai daerah, sebagian besar pengelola SPPG ternyata politisi, pengusaha 'old money', serta aparat kepolisian dan militer.
Republik ini milik oligarki. Meski para politisi berteriak lantang mengaku pro rakyat, kenyataannya berbicara lain.
Dan kita, rakyat biasa, selalu berada di posisi yang dirugikan. Kitalah yang membiayai proyek MBG ini melalui pajak yang terus dipungut, hanya untuk menggemukkan pundi-pundi mereka yang sudah teramat gendut.
Artikel Terkait
Teddy dan Wihaji Bahas Strategi Penurunan Stunting Lewat Program Makan Bergizi
Harga Tanah di Jakarta Hambat Pembangunan Dapur Umum, BGN Siapkan Skema Khusus
Malam Tenang di Ranu Kumbolo Saat Semeru Mengamuk
Belajar di Atas Lantai Kayu yang Rapuh, Kisah 23 Siswa di Ujung Pandeglang