Gelar Bermasalah Hakim MK Ancam Kredibilitas Mahkamah Konstitusi

- Kamis, 20 November 2025 | 08:00 WIB
Gelar Bermasalah Hakim MK Ancam Kredibilitas Mahkamah Konstitusi

Oleh: Muhibbullah Azfa Manik"

Panggung Gelap Usai Pesta

Pesta kemenangan hukum itu baru saja padam. Lampu panggung bergeser, menyorot sudut lain yang selama ini remang-remang. Putusan penting Mahkamah Konstitusi sempat membuat publik percaya bahwa benteng itu masih berdiri—meski retaknya sudah terdengar sejak lama. Tapi euforia di negeri ini jarang bertahan lama. Kita memang lihai menyembunyikan borok di balik sambutan resmi.

Sehari setelah sorak-sorai mereda, debu yang tak sempat disapu beterbangan. Muncul laporan dugaan ijazah palsu milik Hakim MK Arsul Sani. Seakan-akan republik ini sedang memperlihatkan trik lamanya: satu tangan memberi harapan, tangan lain menyodorkan ironi.

Laporan yang Menyalakan Api Kecurigaan

Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi datang ke Bareskrim. Mereka tak membawa poster atau petisi, melainkan laporan yang menuduh seorang hakim konstitusi memegang ijazah S3 palsu. Tuduhan itu menyengat ruang publik seperti bau kabel terbakar. Di akhir pekan yang panjang, rumor berkembang liar tanpa ada bantahan yang bisa meredamnya.

Suasana berubah cepat. Dari perayaan, menjadi bisik-bisik gelap yang merayap di kolom komentar.

Pertunjukan Pembuktian ala Arsul

Di konferensi persnya, Arsul tampil bak pesulap yang ingin membuktikan bahwa topinya kosong, lalu mengeluarkan merpati putih. Tabung ijazah dibuka, kertas bersegel diangkat, disertasi tebal ditepuk-tepuk. Semua dilakukan cepat, rapi, dan sesekali tampak tergesa—sebuah pertunjukan yang dirancang untuk menyulap keraguan menjadi rasa kagum.

Narasinya dibentangkan panjang. Ia memulai S3 di Glasgow, terputus karena DPR, lalu "mentransfer" studinya ke Collegium Humanum. Kampus yang mempersilakan ia menyelesaikan pendidikan tanpa harus banyak duduk di kelas. Kelas daring, sedikit bimbingan, lalu wisuda.

Kisah seperti itu, di negara dengan birokrasi akademik yang ketat, terdengar seperti pintu rahasia menuju gelar doktor. Kalau benar semudah itu, para mahasiswa S3 yang empat tahun tenggelam oleh metodologi riset barangkali bisa menuntut dunia karena ketidakadilan sejarah.

Collegium Humanum: Misteri dari Eropa Timur

Di sinilah drama baru dimulai. Collegium Humanum bukan kampus yang sekadar kontroversial. Ia sedang dalam penyelidikan Biro Anti-Korupsi Polandia (CBA). Di negeri asalnya, kampus ini disebut-sebut sebagai pemasok gelar instan untuk pejabat publik. Beberapa pejabat kampus telah ditangkap. Penyelidik menyebut ada jaringan kriminal yang memperjualbelikan gelar akademik.

Nama kampus ini menjadi semacam teka-teki silang internasional. Suram. Tak banyak data akademik, tapi banyak catatan penyidikan. Tidak banyak publikasi riset, tapi banyak berita penangkapan. Ironisnya, gelar dari kampus inilah yang kini terpajang di CV seorang hakim konstitusi Indonesia.

Legalisasi yang Tak Menjamin Segalanya

Arsul bilang sudah mengecek kampus itu di database Kemendikbud dan berkonsultasi dengan Kedutaan Polandia. Tapi di sinilah masalahnya: legalisasi bukan jaminan kualitas. Ia hanya memastikan bahwa dokumen itu pernah dicetak, bukan bahwa proses akademiknya layak disebut pendidikan tinggi.

Dalam dunia universitas abal-abal, stempel bukan barang langka. Yang mahal justru proses ilmiah yang benar. Dan itulah yang sekarang dipertanyakan publik—bukan tanda tangan, tetapi bagaimana gelar itu bisa lahir.

Lolosnya di DPR: Saringan atau Formalitas?

Sorotan kemudian beralih ke DPR. Bagaimana lembaga politik yang semestinya ketat dalam menguji integritas kandidat bisa melewatkan ijazah dari kampus yang tengah dalam penyelidikan kriminal?


Halaman:

Komentar