Pelajaran dari Taipei-Taichung: Analisis Rasionalitas Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh
Peresmian Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh pada 2023 menjadi momen bersejarah transportasi Indonesia. Namun, di balik kemegahannya, penting untuk menilai proyek ini dari kacamata rasionalitas ekonomi dan perencanaan yang matang. Perbandingan dengan sistem kereta cepat Taipei-Taichung di Taiwan memberikan perspektif yang berharga.
Perbandingan Biaya dan Efisiensi: Whoosh Indonesia vs. Taiwan High Speed Rail
Kedua negara membangun jalur kereta cepat dengan tantangan geografis yang mirip, yaitu medan yang kompleks dan rawan gempa. Namun, efisiensi biaya menjadi pembeda utama.
Jalur Jakarta-Bandung sepanjang 142 km menelan biaya konstruksi sekitar 7,3 miliar Dolar AS. Angka ini setara dengan 51 juta Dolar AS per kilometer. Biaya ini mengalami kenaikan dari rencana awal.
Sebaliknya, Taiwan High Speed Rail (THSR) untuk segmen Taipei-Taichung yang lebih panjang (165 km) dibangun dengan biaya sekitar 36-40 juta Dolar AS per kilometer. Padahal, THSR dibangun dengan standar keselamatan anti-gempa yang sangat tinggi dan kapasitas lintasan yang lebih besar.
Studi Kelayakan dan Proyeksi Penumpang
Perbedaan mendasar terletak pada pendekatan perencanaan. Taiwan melakukan studi kelayakan mendalam selama dua dekade sebelum memulai konstruksi. Studi ini mencakup analisis permintaan riil, survei asal-tujuan, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Hasilnya, okupansi THSR mencapai di atas 70% pada tahun kelima dan mencapai titik impas dalam 12 tahun.
Di Indonesia, proyeksi penumpang KCJB ditargetkan 30-31 ribu orang per hari. Namun, realisasi pada 2025 diperkirakan hanya mencapai 16-18 ribu orang per hari. Berbagai lembaga memperkirakan titik impas baru akan tercapai setelah 40 tahun, jauh melampaui umur ekonomis sebagian infrastrukturnya.
Model Pembiayaan dan Manajemen Risiko
Taiwan menerapkan skema Build-Operate-Transfer (BOT), di mana pihak swasta menanggung biaya konstruksi dan risiko komersial. Pemerintah hanya menyediakan lahan dan regulasi.
Skema pembiayaan KCJB melibatkan 75% pinjaman dari China Development Bank dan 25% modal ekuitas. Ketika proyeksi penumpang tidak tercapai, risiko finansial pada akhirnya kembali ditanggung oleh negara, bukan mitra bisnis.
Artikel Terkait
10 Ribu Pelaku Balap Liar di DIY Terjaring dalam 10 Bulan, Begini Polanya
Klaim Harimau Ragunan Kelaparan Dibantah Pengelola: Ini Fakta dan Penjelasan Lengkap
Bahaya Cesium-137: Dampak Kebocoran Radiasi pada Ekspor Udang & Cengkeh Indonesia
Pontianak Fans Rayakan HUT ke-7 dengan Konsep Punk Football yang Intim