MURIANETWORK.COM -Konflik antara Iran dan Israel kembali memanas setelah gelombang serangan rudal dan drone dari kedua belah pihak mengguncang kawasan, memicu kekhawatiran global akan pecahnya perang berkepanjangan di Timur Tengah.
Gelombang serangan baru dimulai pada Sabtu malam, 14 Juni 2025 hingga Minggu pagi, 15 Juni 2025, ketika rudal-rudal Iran menghantam wilayah utara Israel, termasuk kota Haifa dan Tamra.
Menurut media lokal Israel, serangan ini menewaskan sedikitnya tiga orang dan melukai 13 lainnya. Haifa, yang dikenal memiliki infrastruktur gas strategis, disebut-sebut sebagai target utama dalam serangan tersebut.
Sebagai balasan, militer Israel meluncurkan serangan udara terhadap sejumlah target penting di Iran, termasuk markas besar Kementerian Pertahanan Iran di Teheran.
Kantor berita semi-resmi Tasnim melaporkan bahwa depot minyak Shahran di barat laut ibu kota turut menjadi sasaran dan saat ini masih dalam upaya pemadaman api.
“Saya melihat intersepsi. Suara ledakan terdengar. Belum pernah terjadi sebelumnya serangan terhadap fasilitas nuklir, militer, dan sipil Iran," ungkap Tohid Asadi, koresponden Al Jazeera di Teheran.
Korban sipil di Iran pun meningkat tajam. Pemerintah Iran melaporkan sedikitnya 80 orang tewas dan lebih dari 320 luka-luka, termasuk wanita dan anak-anak. Iran juga menyatakan bahwa sembilan ilmuwan nuklir berada di antara korban tewas.
Iran membalas dengan rentetan rudal yang berhasil menembus sistem pertahanan Israel, menyebabkan empat kematian tambahan dan lebih dari 200 orang terluka.
Israel juga memperluas serangannya terhadap infrastruktur energi Iran, termasuk ladang gas South Pars, salah satu sumber energi utama negara itu.
Pakar energi Manouchehr Takin mengatakan bahwa langkah ini bisa sangat memukul ekonomi Iran yang sudah terpukul oleh sanksi.
“Ini adalah upaya untuk melumpuhkan ekonomi Iran. Jaringan gas domestik sudah berada di bawah tekanan karena sanksi dan salah urus," ujarnya.
Nour Odeh, koresponden Al Jazeera di Amman, menyebutkan bahwa langkah Israel kali ini menandai pergeseran strategi militer.
“Sebelumnya mereka menargetkan infrastruktur militer. Sekarang mereka mengincar aset ekonomi sipil,” jelasnya.
Ketegangan geopolitik meningkat dengan pembatalan mendadak pembicaraan nuklir antara Iran dan AS di Oman. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengatakan negosiasi tak dapat dilanjutkan sementara serangan biadab Israel terus berlanjut.
Di tengah situasi yang genting, Presiden AS Donald Trump memperingatkan Iran atas “konsekuensi yang lebih keras,” sementara Presiden Rusia Vladimir Putin menyerukan penghentian segera kampanye militer.
Keduanya, meski berada di kutub pandangan berbeda, menyatakan masih terbuka untuk kemungkinan kembali ke jalur diplomasi.
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyalahkan Israel atas krisis yang terjadi. Dalam percakapannya dengan Putra Mahkota Saudi dan Presiden Iran, Erdogan menyebut Israel sebagai “ancaman terbesar bagi stabilitas regional,” dan menuding Perdana Menteri Benjamin Netanyahu “membakar wilayah” demi kepentingan politik domestik.
“Satu-satunya cara untuk menyelesaikan sengketa nuklir adalah melalui negosiasi,” kata Erdogan, seraya memperingatkan kemungkinan krisis pengungsi jika konflik terus memburuk
Sumber: RMOL
Artikel Terkait
Iran Kembali Diserang, Ledakan Terus-terusan Terdengar di Teheran
Iran Ringkus 2 Terduga Agen Mossad
Trump: Jika Iran Menyerang Kekuatan Penuh AS Akan Dikerahkan
BRUTAL! Anggota DPR dari Demokrat Ditembak Mati, Polisi Temukan 70 Target Lain