Namun, mesin Artificial Intellegence belum mampu melakukan renungan batin, menyelami pengalaman hidup.
AI juga tak memiliki hati yang dilezatkan oleh suka dan duka dan mengembangkan visi mengenai apa yang baik dan buruk.
“Padahal ramuan batin itu yang diperlukan untuk melahirkan tulisan yang otentik dan bermakna. Zaman mana pun tetap memerlukan para narator, yang mampu menarasikan apa yang terjadi dan apa sebaiknya yang dituju. Mereka adalah para penulis,” kata Denny.
Dalam konteks itulah Satupena Award dianugerahkan kepada tokoh-tokoh penulis yang memelihara tradisi penulisan yang memiliki kedalaman, tandasnya.
Baca: Tiga jenis pekerjaan ini belum akan tergeser oleh AI
Putu Wijaya, tambah Denny, memiliki rekor menulis lebih dari 30 novel, 40 naskah drama, sekitar 1000 cerpen, ratusan esai, artikel lepas dan kritik drama. Ia telah memberi warna kepenulisan Indonesia (fiksi) selama lebih dari 50 tahun.
Sementara Komarudin Hidayat, tak hanya penulis tetapi juga seorang rektor, pendidik dan guru besar.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: ruangkota.com
Artikel Terkait
Drama Rujuk Fahmi Bo hingga Polemik Nikah Siri Habib Bahar: Sorotan Panas Dunia Hiburan Indonesia
Surat Haru untuk Ayah Pembunuh: Aku Tahu Ayah Berbuat Salah, Tapi...
Mekanisme Reimburse Nafkah Anak Ruben Onsu: Bukan Rp200 Juta Bulanan, Tapi Penggantian Biaya yang Ditanggung Sarwendah
Menyelami 12 Karya Sinema Jepang Dewasa yang Menantang Pikiran