Penulis tersebut hanya bisa menerima jika AI hanya digunakan sebagai alat pembantu pencari data. Bukan editor dan supervisor karya penulis. Intinya para penulis ini tidak ingin honornya dikurangi, karena sebagian kerja mereka diambil alih oleh Artificial Intelligence.
“Sekarang memang era Artificial Intelligence. Sejak tahun lalu, saya juga sudah menggunakan AI ini, ujar Denny JA.
Denny JA bercerita, ia memberikan instruksi kepada komputer: tuliskan soal keindahan alam Indonesia dalam bentuk puisi. Lalu lahirlah puisi, yang bisa dinikmati.
Lalu Denny memberikan perintahkan lagi: Tuliskan kisah Palestina dalam bentuk puisi esai. “Kali ini, AI gagal menulis puisi esai,” kata Denny JA.
Lalu Denny JA bertanya kepada teman yang ahli AI tentang hal ini. Temannya menjawab dengan bergurau. Menulis puisi esai lebih sulit. Karena harus ada catatan kaki. “Kita beruntung karena AI belum bisa menulis puisi esai,” kata Denny JA di depan 200 orang peserta Festival Puisi Esai Jakarta
Menurut Denny JA, seandainya AI sudah bisa menulis puisi esai, itu tetap tak menjadi masalah. Karena manusia membaca sejarah. Sehebat apapun kemajuan teknologi, dalam sejarah seorang penulis tetap dibutuhkan.
“Teknologi datang dan pergi. Tapi seorang penulis tetap dibutuhkan,” kata Denny yakin.
Dia memberikan alasan bahwa setiap zaman memerlukan narasi. Manusia di mana pun memerlukan penjelasan.
“Apa yang tengah terjadi? Kita sedang bergerak kemana? Para narator menjawab kebutuhan itu,” ujar Denny JA.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: jakarta.suaramerdeka.com
Artikel Terkait
Pierce Brosnan Buka Pintu untuk Kembali ke Dunia James Bond, Bukan sebagai 007
Marissa Anita Buka Suara: Persiapan Spiritual Jelang Sidang Cerai Perdana
Soundrenaline 2025 Hadirkan Festival Multi-Lokasi Perdana di Kota Medan
David Beckham Beralih dari Gol ke Kebun: Kisah Transformasi Legenda Sepak Bola