Jelas saja, pernyataan itu menimbulkan keheningan yang berbeda. Namun begitu, del Toro tak berlama-lama terpuruk dalam atmosfer muram itu. Dengan lancar, ia mengalihkan pembicaraan kembali ke dunia film, khususnya proyek terkininya: adaptasi Frankenstein untuk Netflix.
Menurutnya, adaptasi kali ini punya sudut pandang unik: pengampunan. Sebuah tema yang ia klaim jarang disentuh dalam ratusan versi Frankenstein sebelumnya.
Lebih jauh, del Toro mengungkapkan bahwa film ini sangat personal baginya. Ia melihatnya sebagai cerminan dari perjalanan emosionalnya sendiri, terutama soal menjadi seorang anak dan kemudian seorang ayah. Perubahan dalam cara ia memandang pengasuhan itu, katanya, terjadi justru sebelum film ini dibuat dan akhirnya meresap ke dalam narasinya.
Nampaknya, pendekatan personal itu berhasil. Adaptasi Frankenstein-nya mendapat sambutan luar biasa. Di Rotten Tomatoes, film yang dibintangi Oscar Isaac, Jacob Elordi, dan Mia Goth ini meraih skor kritik 86% dan skor penonton 94%. Sebelum tayang di Netflix, film ini sudah lebih dulu dipuji di Festival Film Venesia ke-82, disebut-sebut sebagai salah satu interpretasi modern terbaik dari kisah Mary Shelley itu.
Jadi, begitulah Guillermo del Toro. Di satu sisi, ia dengan tenang bicara tentang merindukan akhir dari segala beban. Di sisi lain, dengan penuh gairah ia menciptakan karya baru yang justru merayakan kompleksitas hidup dan pengampunan. Sebuah kontras yang justru semakin menegaskan posisinya sebagai sineas dengan karakter kuat, yang tak pernah berhenti menggali kedalaman manusia dari sisi paling gelapnya hingga secercah penebusannya.
Artikel Terkait
Lima Drama Korea Ini Sabet Rating Tertinggi di Awal Desember
Unggahan Instagram Katy Perry dan Justin Trudeau di Jepang Picu Badai Spekulasi
Azizah Salsha Temani Arhan Ziarah ke Makam Ayah, Berboncengan Motor
35 Tahun Persahabatan Harry Tjahjono dan Rano Karno Terungkap dalam Malam Nostalgia