Mengapa Tari Bedhaya Ketawang Tidak Ditampilkan di Jumenengan Pakubuwono XIV?
Upacara Jumenengan atau penobatan Pakubuwono XIV di Keraton Kasunanan Surakarta berlangsung tanpa kehadiran Tari Bedhaya Ketawang, sebuah tarian yang biasanya menjadi puncak prosesi sakral. Keputusan untuk tidak menampilkan tarian ini menyoroti kembali kedalaman makna filosofis dan statusnya yang mistis dalam budaya Jawa.
Sejarah dan Asal Usul Tari Bedhaya Ketawang
Sejarah Tari Bedhaya Ketawang dipercaya bermula dari masa pemerintahan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram antara tahun 1613 hingga 1645. Suatu ketika, sang Sultan sedang bertapa dan secara tiba-tiba mendengar suara melodi yang sangat merdu seolah datang dari langit. Pengalaman spiritual ini menginspirasinya untuk menciptakan sebuah tarian yang kemudian dinamai Bedhaya Ketawang.
Versi lain dari legenda populer menghubungkan tarian ini dengan pertemuan spiritual antara Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram, dengan Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Pantai Selatan. Kisah percintaan mereka menjadi inti narasi dari tarian ini. Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membagi wilayah Mataram, Tari Bedhaya Ketawang menjadi warisan budaya yang diserahkan kepada Kasunanan Surakarta, di mana ia terus dilestarikan sebagai tarian untuk upacara penobatan raja.
Makna Filosofis dan Simbolisme yang Mendalam
Makna utama Tari Bedhaya Ketawang adalah sebagai perlambang hubungan spiritual dan ikatan perkawinan antara Panembahan Senapati dan Kanjeng Ratu Kidul. Setiap gerakan dalam tarian ini menceritakan kisah pertemuan mereka, sementara lirik tembang pengiringnya menggambarkan curahan hati sang Ratu kepada sang Raja.
Artikel Terkait
Billie Eilish Sindir Elon Musk Hampir Jadi Triliuner: Dasar Pengecut Menyedihan
Andre Rosiade Bela Azizah Salsha: Klarifikasi Isu Nadif & Alasan Cerai dengan Arhan
Pendekar League Atta Halilintar: Liga Mini Soccer 7v7 Eksklusif 2025
Lirik Lagu So Easy (To Fall in Love) Olivia Dean: Makna, Terjemahan, dan Lirik Lengkap