Banyak perusahaan sekarang merasa sudah on the track cuma karena punya akun media sosial dan rajin bikin konten. Lihat saja: jadwal posting padat, angka engagement terlihat bagus, laporan aktivitas komunikasi pun tampak solid. Semua terlihat berjalan.
Tapi di balik keriuhan itu, ada satu masalah yang jarang banget dibuka: budaya korporat di era digital ini nyaris tidak pernah dievaluasi dampaknya secara serius.
Menurut sejumlah praktisi, kegiatan komunikasi kerap langsung dikaitkan dengan pencapaian. Selama pesan terkirim, acara terselenggara, dan konten tayang, strategi dianggap berjalan sukses. Padahal, tanpa evaluasi yang jelas, perusahaan cuma fokus pada 'bicara' tanpa pernah tahu apakah pesannya benar-benar didengar, dipercaya, atau malah diabaikan oleh publik dan karyawan sendiri.
Budaya perusahaan itu sebenarnya bukan cuma soal reputasi. Ia menyentuh hal yang lebih dalam: keyakinan. Kalau tidak dinilai secara strategis, organisasi bergerak cuma berdasarkan asumsi. Bisa bahaya.
Akibatnya, salah tafsir publik, ketidakpuasan internal, sampai ancaman krisis reputasi bisa mengendap dan membesar perlahan. Apalagi di dunia digital yang serba transparan ini. Situasi VUCA makin memperkeruh. Batas antara komunikasi internal dan eksternal sekarang tipis banget. Pesan rahasia untuk karyawan bisa jadi konsumsi publik cuma dalam hitungan menit.
Makanya, menilai komunikasi digital itu nggak bisa lagi dianggap sebagai formalitas laporan belaka. Ini harus jadi alat untuk memahami arah risiko dan tingkat kepercayaan.
Sayangnya, masih banyak yang terjebak pada data yang terlihat mentereng. Reach, likes, impressions itu semua sering dijadikan patokan utama kesuksesan. Padahal, angka-angka itu cuma menunjukkan seberapa jauh pesan menyebar, bukan seberapa dalam pesan itu dipahami atau diyakini. Di sinilah bedanya antara keramaian dan pengaruh yang sesungguhnya.
Nah, untuk membedakannya, ada kerangka output, outtake, dan outcome. Output itu mencatat kegiatan: berapa konten diunggah. Outtake mengamati reaksi: apa yang audiens pahami atau rasakan. Sementara outcome menilai perubahan sikap dan perilaku nyata.
Masalahnya, banyak organisasi mentok di tahap output. Alasannya klasik: itu yang paling gampang diukur dan dilaporkan. Tapi tanpa mengejar outcome, komunikasi cuma jadi obrolan kosong, bukan pendorong perubahan.
Artikel Terkait
Setelah Serangan Saudi, UEA Tarik Personel Terakhirnya dari Yaman
Ironi Pendidikan Tinggi: Dosen Gugat Negara Demi Upah Layak di Tengah Gengsi Kampus Dunia
BNPT Ungkap 21 Ribu Konten Radikal di Medsos Sepanjang 2025
Serangan Udara di Mukalla, KBRI Muscat Siagakan WNI di Yaman