Mulai 1 Januari 2026, pemerintah resmi akan mengenakan bea keluar untuk ekspor batu bara. Targetnya cukup ambisius: tambahan penerimaan negara ditaksir bisa mencapai Rp 20 triliun. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sendiri yang menyampaikan angka itu.
Langkah ini muncul di saat Indonesia masih jadi raja batu bara dunia. Catat saja, dalam lima tahun terakhir (2020-2024), negeri ini mengekspor sekitar 1,8 miliar ton. Namun, di balik volume yang fantastis itu, ada sejumlah masalah yang mengendap.
Menurut Sandy Pramuji, Senior Analyst Next Indonesia Center, pengenaan bea keluar ini sebenarnya bisa jadi langkah strategis. Manfaatnya ganda. Di satu sisi, ia bisa memperkuat kas negara. Di sisi lain, ia bisa menjadi alat untuk mendisiplinkan tata kelola perdagangan.
kata Sandy dalam keterangannya, Selasa (30/12).
Namun begitu, Sandy mengingatkan, kebijakan ini harus dibarengi dengan perbaikan sistem. Pemerintah, menurutnya, wajib memperkuat integrasi data produksi dan ekspor antar kementerian. Data dari ESDM, BPS, Bea Cukai, dan sistem perdagangan internasional harus selaras. Kalau tidak, masalah lama akan tetap berkeliaran.
jelasnya.
Peringatannya keras. Tanpa reformasi tata kelola yang solid, status Indonesia sebagai jawara ekspor batu bara hanya akan terus dimanfaatkan untuk praktik 'akal-akalan' yang merugikan negara.
Disiplinkan Praktik Ekspor Batu Bara
Lantas, bagaimana bea keluar bisa mendisiplinkan ekspor? Sandy merujuk pada riset Next Indonesia Center yang menemukan praktik manipulasi data perdagangan atau trade misinvoicing.
Artikel Terkait
Medco Energi Pindahkan Saham Anak Usaha Senilai Rp24,17 Miliar
Demutualisasi BEI: Langkah Strategis Atasi Konflik Kepentingan
Ekonomi Indonesia Tembus Badai Global, Pertumbuhan 5,04% dan Surplus Dagang Jadi Penopang
Target IPO Meleset, Tapi Dana Masuk Tembus Rp278 Triliun