Lirik Iwan Fals dari tahun 1987 itu masih terngiang. “Libur kecil kaum kusam.” Bukan teriakan, tapi lebih seperti doa. Sebuah permohonan agar waktu mau berhenti sejenak, merangkul mereka yang hidupnya jauh dari kata liburan karena urusan ekonomi.
Bagi sebagian orang, liburan itu kemewahan. Ia bagai tangga ke langit indah dilihat, tapi licin dan mahal untuk didaki. Seolah hanya disediakan untuk mereka yang hidupnya longgar, yang dompetnya tak pernah kerontang di akhir bulan.
Lalu, bagaimana ketika ekonomi sedang sulit? Harga-harga melonjak seenaknya, sementara pekerjaan tak menjamin masa depan. Di situasi seperti ini, rencana liburan kerap terasa seperti “dosa kecil”. Haruskah ditunda, atau malah dilupakan sama sekali? Akhirnya, kita terpaksa berhitung dengan kepala dingin. Memangkas yang tidak mendesak, menyingkirkan yang dianggap bukan prioritas.
Tapi yang disingkirkan itu sebenarnya bukan cuma perjalanan. Melainkan jeda. Manusia butuh bernapas. Tanpa jeda, hari-hari cuma jadi rangkaian kewajiban yang melelahkan dan hampa.
Kita sering lupa. Lelah itu bukan cuma soal badan, tapi juga jiwa. Kalau jiwa dipaksa terus bekerja, ia akan bisu. Tak mampu lagi bersyukur atau berharap. Makanya liburan bukan cuma agenda di kalender. Ia kebutuhan dasar yang tak bisa diabaikan.
Abraham Maslow, lewat teorinya di tahun 1943, bilang kebutuhan manusia tidak berhenti di sandang-pangan-papan. Ada juga kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan diri, dan aktualisasi. Nah, liburan dalam hal ini bisa jadi sarana pemulihan mental dan penguat hubungan sosial. Ia bukan sekadar rekreasi.
Intinya, liburan adalah cara sederhana untuk mengingat kembali makna hidup kita. Bukan sekadar roda penggerak ekonomi. Ia proses membebaskan diri sejenak dari rutinitas yang padat dan tuntutan yang tak ada habisnya.
Merayakan yang Dekat
Di tengah kesulitan ekonomi, kita diajak mencintai yang dekat-dekat saja. Konsepnya disebut microtourism. Liburan dengan jarak pendek, waktu singkat, dan biaya ringan. Tak perlu jauh-jauh. Bisa ke taman kota, desa sebelah, atau sungai yang selama ini cuma kita dengar gemericiknya.
Artikel Terkait
Setelah Serangan Saudi, UEA Tarik Personel Terakhirnya dari Yaman
Ironi Pendidikan Tinggi: Dosen Gugat Negara Demi Upah Layak di Tengah Gengsi Kampus Dunia
BNPT Ungkap 21 Ribu Konten Radikal di Medsos Sepanjang 2025
Serangan Udara di Mukalla, KBRI Muscat Siagakan WNI di Yaman