Arief menambahkan, tekanan operasional ini malah semakin menjadi sejak April 2025. Aktivitas perusahaan terkendala oleh area disposal dan sebuah insiden: runtuhnya jembatan provinsi. Dampaknya langsung terasa. Transportasi pengangkutan (hauling) batu bara dari tambang ke pelabuhan jadi terganggu parah. Bahkan, sejak September, aktivitas hauling itu terhambat total dan tak berjalan sama sekali.
Di tengah segala keterbatasan itu, manajemen tak tinggal diam. Mereka berupaya melakukan efisiensi di sana-sini untuk menekan beban biaya. Penghematan dilakukan pada biaya tetap maupun biaya variabel. Di sisi lain, mereka juga aktif memburu kontrak kerja baru di luar proyek yang sudah ada.
Strateginya, mengoptimalkan aset yang menganggur. Unit-unit alat berat di Sambarata itu coba ditawarkan untuk disewakan ke pihak ketiga.
Lantas, bagaimana prospek pemulihan di tahun 2026? Tampaknya, semuanya masih bergantung pada keberhasilan perusahaan mendapatkan proyek baru. Manajemen mengaku sedang menjajaki sejumlah peluang tambang di Sumatera Selatan. Namun begitu, semua proyek potensial itu masih terhambat pada satu hal: proses persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
tutur Arief dengan nada yang cukup gamblang.
Jadi, jalan menuju pemulihan bagi SMRU masih panjang dan berliku. Mereka harus berjuang di dua front sekaligus: memperbaiki kinerja operasional dan menyelamatkan sahamnya dari ancaman delisting.
Artikel Terkait
OJK Perketat Pengawasan, Rekening Dana Syariah Indonesia Dibekukan
Konglomerasi Cetak Rekor, IHSG Melesat 22% di 2025
Geliat 15 Bendungan Baru: Dari Way Apu yang Hampir Rampung hingga Riam Kiwa yang Baru Dimulai
CUAN Rebut 20% Saham SINI, Sinyal Akuisisi Bertahap Dimulai