Di Balik Gebyar Digital, Budaya Korporat yang Sebenarnya Diukur dari Keberanian Mengevaluasi Diri

- Rabu, 31 Desember 2025 | 00:36 WIB
Di Balik Gebyar Digital, Budaya Korporat yang Sebenarnya Diukur dari Keberanian Mengevaluasi Diri

Budaya korporat di era digital memang sering diwarnai dengan gebyar konten media sosial dan jargon-jargon transformasi. Tapi, ada satu hal yang kerap terlupakan di balik semua riuhnya itu: penilaian strategis terhadap komunikasi perusahaan itu sendiri. Tanpa evaluasi yang matang, budaya perusahaan cuma jadi cerita indah yang rapuh. Padahal, reputasi digital bisa runtuh dalam sekejap karena satu kesalahan kecil yang tak terpantau.

Masalahnya, banyak organisasi masih terjebak pada anggapan bahwa aktivitas komunikasi yang padat sama dengan strategi yang sukses. Mereka bangga dengan jumlah rilis pers, event besar, atau trafik media sosial. Padahal, angka-angka itu belum tentu mencerminkan apa-apa. Ini perangkap klasik: perusahaan merasa aman karena terlihat sibuk, sementara publik mungkin saja bingung atau malah tak percaya dengan pesan yang disampaikan.

Di sinilah penilaian yang mengukur Output, Outtake, dan Outcome jadi pembeda. Output itu cuma soal apa yang kita lakukan. Outtake mengecek apa yang sebenarnya dipahami audiens. Sementara Outcome, nah, ini yang paling krusial: ia melihat pengaruh nyata pada perilaku, keyakinan, dan kinerja bisnis. Kalau Outcome-nya nol, strategi budaya digital yang mahal itu tak lebih dari ornamen belaka.

Menariknya, perusahaan-perusahaan global justru memberi perhatian ekstra pada hal-hal yang jarang diangkat. Mereka bicara soal keamanan psikologis, keterbukaan internal, dan keberanian untuk mengoreksi diri sendiri.

Google, misalnya, menunjukkan bahwa psychological safety bisa mendongkrak inovasi tim.


Halaman:

Komentar