“Sejalan dengan upaya tersebut, struktur organisasi perseroan turut diramtingkan agar lebih agile dan selaras dengan kebutuhan bisnis saat ini,”
tambah Sahat.
Target jangka menengahnya adalah menekan kerugian lebih dalam lagi. Strateginya mengandalkan konsistensi dalam efisiensi, optimalisasi pendapatan, dan tentu saja, penataan kewajiban yang berkelanjutan.
Namun begitu, tantangan tetap ada. Laporan keuangan menunjukkan pendapatan INAF justru turun tipis 2,99% year-on-year, dari Rp137,87 miliar menjadi Rp133,73 miliar per 30 September 2025. Pelemahan ini sejalan dengan penurunan penjualan di dua segmen utama.
Penjualan obat hanya meraup Rp72,81 miliar (turun 2,90%), sementara alat kesehatan menyumbang Rp60,91 miliar (turun 3,10%).
Di tengah upaya pemulihan ini, saham INAF masih terkatung-katung. Efeknya telah disuspensi lebih dari setahun, tepatnya sejak 2 Juli 2024. Harga terakhirnya mentok di Rp126 per saham.
Kondisi ini makin pelik karena INAF masuk dalam daftar 55 perusahaan yang berpotensi di-delisting bursa per 30 Juni 2025. Waktunya tak banyak. Perjalanan panjang menuju pemulihan total masih harus dibuktikan dengan langkah-langkah konkret berikutnya.
Artikel Terkait
Pasar Otomotif Lesu, Tapi Emiten Ini Justru Tumbuh Pesat
Satgas Beras Turunkan Harga, Zona 3 Papua Catat Penurunan Terbesar
Efisiensi Bawa Angin Segar, Laba Kotor Merdeka Battery Melonjak 22%
Laba Industri China Terjun Bebas, Deflasi dan Permintaan Lemah Jadi Beban Ganda