"Pembelian besar-besaran oleh bank sentral jadi pendorong utama. Ditambah lagi, arus masuk dana ke ETF emas sangat kuat," ujar Kim.
Ia menambahkan, kekhawatiran investor terhadap melemahnya nilai mata uang dan membengkaknya utang global turut menambah daya tarik logam mulia sebagai safe haven.
"Dengan proyeksi sejumlah bank besar yang memperkirakan kenaikan berlanjut hingga 2026, kuatnya permintaan fisik serta ketidakpastian geopolitik dan kebijakan moneter menunjukkan reli logam mulia masih berpotensi berlanjut," jelasnya lewat catatan analisis.
Angkanya memang mencengangkan. Sepanjang tahun, harga emas telah naik lebih dari 71 persen kenaikan tahunan tertinggi sejak 1979. Perak? Lebih gila lagi, melesat hingga 158 persen.
Memasuki tahun baru, semua mata kini beralih ke arah kebijakan suku bunga AS. Pasar memprediksi The Fed akan memangkas suku bunga setidaknya dua kali di tahun 2026, meski langkah itu diperkirakan baru terjadi setelah Juni nanti.
Dampaknya, tekanan terhadap dolar AS berlanjut. Indeks dolar merosot 0,8 persen, terlemah sejak Juli. Di perdagangan Asia, indeks itu coba stabil di sekitar 97,935.
Di sisi lain, yen Jepang sedikit melemah ke posisi 156,23 per dolar. Tapi secara mingguan, mata uang ini masih menguat sekitar 1 persen penguatan terbesarnya sejak akhir September. Peringatan verbal dari otoritas Jepang rupanya memicu spekulasi intervensi, meski Bank of Japan baru saja menaikkan suku bunga pekan lalu. Situasi yang cukup menarik untuk diamati ke depannya.
Artikel Terkait
38 Provinsi Tuntaskan UMP 2026, Jakarta Puncaki Daftar dengan Kenaikan 6,17%
Pertamina Pecahkan Rekor Pengeboran Darat Terdalam dengan Teknik Canggih
UMP 2026 Ditetapkan, Pekerja: Naik Tapi Tak Sebanding dengan Biaya Hidup
Udang Beku Indonesia Ditarik FDA, KKP Sebut Kasus Lama yang Kembali Ramai