Suasana hati pasar saham Asia pagi ini terasa gamang. Investor seolah menahan napas, menunggu keputusan penting dari Federal Reserve yang akan diumumkan nanti. Di tengah ketidakpastian itu, laporan kinerja dari raksasa teknologi di Wall Street juga mengancam akan menguji valuasi sektor AI yang sudah melambung tinggi.
Hasilnya? Mayoritas bursa di kawasan bergerak di zona merah. Indeks Nikkei 225 Jepang sempat mencoba bangkit di awal sesi, tapi akhirnya tergelincir 0,44 persen. Shanghai Composite tak ketinggalan, terkoreksi 0,66 persen. Hong Kong dengan Hang Seng-nya merosot 0,55 persen, sementara bursa Australia dan Singapura masing-masing melemah tipis 0,12 persen dan 0,29 persen. Hanya KOSPI Korea Selatan yang bertahan, naik sangat tipis 0,09 persen.
Menurut pantauan Reuters, sentimen ini turut menarik indeks acuan MSCI Asia Pasifik (di luar Jepang) turun 0,1 persen. Data inflasi konsumen China untuk November yang naik 0,7% secara tahunan sepertinya belum cukup mengubah mood. Di sisi lain, harga produsen yang masih tertekan di wilayah deflasi justru menambah keraguan tentang kekuatan pemulihan permintaan.
Dengan mayoritas aset seperti 'membeku' menunggu The Fed, perhatian pelaku pasar malah teralihkan pada dua hal: pelemahan mendadak yen Jepang dan lonjakan harga perak yang kembali mencetak rekor baru. Keduanya jadi penanda gejolak tersendiri di tengah ketegangan utama.
Nah, soal The Fed ini, hampir bisa dipastikan mereka akan memangkas suku bunga. Pasar berjangka menunjukkan keyakinan sekitar 89 persen untuk potongan seperempat poin, menuju kisaran 3,50-3,75 persen. Tapi jangan salah, suasana hati sebenarnya jauh dari riang.
Masalahnya, banyak yang menduga nada kebijakan tetap akan hawkish. Buktinya, probabilitas untuk pemangkasan lanjutan di Januari hanya sekitar 21 persen. Artinya, The Fed diprediksi akan bersikap sangat hati-hati, bahkan mungkin agak keras kepala.
Kunci dari semua ini akan terletak pada proyeksi 'dot plot'. Para analis akan mengamati betul, berapa banyak anggota dewan yang memperkirakan satu, dua, atau bahkan nol pemangkasan lagi untuk tahun 2025. Perbedaan pandangan ini bisa sangat tajam.
Bahkan, beredar analisis bahwa sedikitnya dua dari dua belas pemilih berpotensi menyatakan penolakan atau dissent terhadap keputusan pemangkasan hari ini. Situasi ini tentu saja menempatkan Ketua Jerome Powell dalam posisi yang cukup pelik.
David Mericle, Kepala Ekonom AS Goldman Sachs, memberikan pandangannya.
Artikel Terkait
BEEF Garap Bisnis Susu dan Kerbau, Targetkan Omzet Rp180 Miliar pada 2027
Ekonomi Indonesia Melaju: Optimisme 6% hingga Mimpi 8% di Tengah Badai Global
IHSG Dibuka Menguat, Tiga Saham Ini Melonjak Hingga 25%
Sensus Ekonomi 2026: Peta Baru untuk Menguak Ketangguhan UMKM Indonesia