Membaca editorial The Jakarta Post edisi 2 Desember 2025 yang berjudul "Questioning the KPK’s credibility", saya langsung merasakan gelombang skeptisisme. Dahi berkerut. Bagaimana tidak? Pengadilan memvonis para mantan direksi PT ASDP empat setengah tahun untuk Ira Puspadewi, empat tahun untuk Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf Hadi namun di sisi yang sama, pengadilan juga mengakui satu hal krusial: tak ada bukti mereka memperkaya diri sendiri.
Ini sungguh paradoks. Putusan itu sendiri menyebut akuisisi operator swasta dilakukan demi memperluas layanan perusahaan. Sebuah pilihan manajerial yang, dalam banyak sistem hukum lain, justru dilindungi oleh business judgment rule. Bahkan, satu hakim menyuarakan pendapat berbeda. Ia dengan tegas menyatakan langkah itu murni kebijakan komersial, bukan sesuatu yang pantas digiring ke ranah pidana.
Ketegangan antara logika bisnis dan pendekatan kriminal inilah yang memantik kembali pertanyaan besar. Benarkah KPK paham betul batas antara risiko korporasi dan niat jahat, atau mens rea, dalam tindak pidana korupsi?
Ketika Keputusan Bisnis Diseret ke Ruang Pidana
Dari sudut pandang bisnis dan hukum modern, kasus ASDP ini seperti membuka luka lama. Ia menghidupkan perdebatan klasik: sejauh mana negara boleh masuk ke dalam dapur perusahaan? Stephen M. Bainbridge, pakar hukum korporasi Amerika, pernah menjelaskan dengan gamblang. Business judgment rule itu intinya memberi ruang bernapas bagi direksi. Mereka harus bisa mengambil keputusan berisiko tanpa dicekam ketakutan akan dikriminalisasi.
Prinsipnya sederhana. Yang dinilai adalah rasionalitas prosesnya, bukan semata hasil akhirnya. Selama keputusan diambil dengan itikad baik, berdasarkan informasi memadai, dan untuk tujuan bisnis yang jelas, kegagalan tidak serta-merta menjadi kejahatan.
Nah, kalau pakai pisau analisis itu, kasus ASDP justru memperlihatkan jurang lebar. Jurang antara cara dunia usaha bekerja dan cara penegak hukum memahaminya. Tidak ada bukti aliran dana gelap. Tidak ada bukti niat memperkaya diri. Lalu, atas dasar apa sebuah kebijakan korporasi dikriminalisasi? Ini berisiko menciptakan presiden yang menggetarkan banyak direksi, baik di BUMN maupun perusahaan swasta.
Dalam manajemen modern, kerugian bisnis itu hal yang biasa. Yang tidak biasa adalah ketika kerugian itu langsung dijadikan alasan untuk mempidanakan sang pengambil keputusan.
Di titik ini, yang dipertaruhkan jauh lebih besar dari nasib tiga orang. Negara seolah mengirim sinyal berbahaya ke seluruh ekosistem usaha: bahwa setiap salah langkah, betapapun rasional prosesnya, bisa berujung pada jeruji besi.
Artikel Terkait
Tapak PLTN Masih Diperebutkan, Bapeten Ungkap Dua Wilayah Unggulan
OJK Batasi Kuota Besar, Investor Kecil Dapat Porsi Lebih Besar di IPO
BTN Cetak Lonjakan Pendapatan Bunga 44%, Analis Soroti Momentum Baru
Cabai Rawit Merah Tembus Rp72 Ribu, Harga Pangan Merangkak Naik Akhir Pekan