Vonisi ASDP: Ketika Kriminalisasi Mengancam Logika Bisnis

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 16:06 WIB
Vonisi ASDP: Ketika Kriminalisasi Mengancam Logika Bisnis

Dampaknya bisa ditebak. Efeknya adalah rasa takut. Investasi mandek, direksi memilih langkah ultra-hati-hati yang justru membunuh inovasi, dan reputasi Indonesia sebagai negara yang paham dinamika korporasi modern pun terancam tergerus.

KPK dan Bayang-bayang Krisis Kepercayaan

Editorial The Jakarta Post itu menyorot satu kegagalan mendasar: KPK tampak gagal membedakan keputusan bisnis yang rasional dari tindak pidana. Kritik ini bukan omong kosong. Ia bergema di kalangan akademisi dan pengamat internasional.

Sejak revisi UU KPK pada 2019 yang dianggap banyak pihak melemahkan independensi lembaga kecaman bahwa KPK semakin politis kian kerap terdengar. Ketika keputusan bisnis yang wajar diperlakukan layaknya skema korupsi, kesan intervensi politik itu jadi semakin kuat. Sulit dibantah.

Michael Johnston, lewat teorinya tentang tata kelola pemerintahan, punya penjelasan. Korupsi subur di lingkungan dengan akuntabilitas lemah, batas kewenangan kabur, dan logika politik yang tumpang tindih dengan birokrasi. Pemberantasan korupsi hanya efektif jika institusi penegak hukum konsisten pada standar pembuktian dan tidak melenceng dari mandat objektifnya.

Kasus ASDP, sayangnya, menunjukkan gejala sebaliknya. Memidanakan kebijakan bisnis tanpa bukti keuntungan pribadi terasa seperti overreach, kelewat batas. Lalu, ketika presiden akhirnya memberi grasi, publik malah melihat sebuah disfungsi. Penyidikan yang lemah, penuntutan yang dipaksakan, dan eksekutif yang turun tangan membereskan kegaduhan. Situasi begini merontokkan legitimasi, bukan hanya pengadilan, tapi juga lembaga antikorupsi itu sendiri.

Implikasinya serius. Pertama, dunia usaha bisa kehilangan kepercayaan pada konsistensi hukum, yang ujung-ujungnya menghambat investasi. Kedua, KPK jadi rentan dianggap mengejar target politis, alih-alih membongkar korupsi struktural yang lebih rumit. Ketiga, publik makin apatis. Mereka melihat ketidakadilan prosedural yang terang benderang, lalu bertanya, untuk apa lagi peduli?

Indonesia jelas butuh KPK yang kuat dan independen. Yang bisa membedakan dengan tajam antara kesalahan bisnis dan niat koruptif. Tanpa itu, pemberantasan korupsi cuma jadi drama rutin yang kehilangan jiwa.

Kasus ASDP harusnya jadi lonceng peringatan. Negara perlu memperkuat pemahaman hukum ekonominya, menegakkan standar pembuktian yang ketat, dan memulihkan independensi lembaga antikorupsi. Kalau tidak, kita akan terus berputar-putar dalam pusaran yang sama: mengkriminalkan kebijakan, yang pada akhirnya justru merugikan negara dan masyarakat luas.


Halaman:

Komentar