Deru perkembangan teknologi memang telah mengubah segalanya, termasuk cara kita bicara dan memandang dunia. Tapi di balik kemudahan itu, ada banjir informasi yang tak terbendung. Kecerdasan buatan dan algoritma media sosial membanjiri kita dengan konten, dan di tengah situasi ini, muncul tantangan besar: kepercayaan yang mulai luntur.
Ancaman itu kini punya wajah, namanya deepfake. Konten yang dimanipulasi sedemikian rupa hingga terlihat nyata ini benar-benar mengaburkan batas antara fakta dan ilusi. Masalahnya makin runyam karena algoritma sering lebih suka menyajikan yang sensasional, bukan yang benar. Alhasil, kita terperangkap dalam ruang gema yang hanya menguatkan prasangka kita sendiri.
Nah, dalam kaca mata etika Islam, ada konsep yang relevan: amanah. Prinsip ini tak cuma soal menjaga titipan barang, lho. Lebih dalam lagi, ia mencakup kejujuran moral dan tanggung jawab kita atas setiap informasi yang kita sebarkan. Menyebarkan berita palsu atau hoaks apalagi yang pakai rekayasa deepfake sama saja mengkhianati amanah kebenaran itu.
Kita sering lupa. Perangkat di genggaman kita, smartphone atau keyboard, itu sebenarnya perpanjangan suara dan hati nurani kita. Setiap kali kita membagikan sesuatu, dampak moralnya bisa sangat besar. Makanya, kita punya kewajiban untuk memastikan dulu: apa yang kita terima dan sebarkan itu akurat atau tidak.
Di sinilah prinsip tabayyun jadi penting. Secara sederhana, ini adalah seruan untuk mencari kejelasan dan mengecek ulang sebelum bertindak. Dalam ajaran agama, perintah ini ditekankan ketika kita dapat informasi dari sumber yang meragukan. Tujuannya jelas: menghindari kerugian dan fitnah. Di era sekarang, tabayyun adalah tameng paling dasar untuk melindungi diri dari manipulasi informasi.
Lantas, gimana penerapannya di zaman algoritma? Harus konkret. Jangan mudah percaya pada klaim yang heboh dan bombastis. Lakukan cross-check, bandingkan informasi dari beberapa sumber tepercaya. Manfaatkan juga teknologi, seperti aplikasi pengecek fakta, untuk mendeteksi kecurangan visual atau audio buatan AI. Intinya, tabayyun butuh kesabaran. Butuh kedewasaan untuk menunda penilaian, sampai semuanya benar-benar jelas.
Artikel Terkait
Gelombang Larangan Media Sosial untuk Anak-Anak: Akankah AS Akhirnya Ikut Arus Global?
IndiHome TV Resmi Hadirkan BBC News dan CBeebies untuk Pemirsa Indonesia
Jalan Tol Dinosaurus di Bolivia: 16.600 Jejak Kaki Ungkap Jalur Migrasi Raksasa Purba
Anak di Bawah 16 Tahun Dilarang Medsos? Pemerhati Anak: Langkah Australia Tepat untuk Lindungi dari Predator Digital