Mereka berargumen, kendali Otoritas Palestina yang lemah di Tepi Barat dan Gaza membuat verifikasi identitas pelancong menjadi sangat sulit.
Di sisi lain, kebijakan ini muncul beberapa pekan setelah insiden penembakan di Washington DC. Dua personel Garda Nasional jadi sasaran, satu di antaranya tewas. Insiden itulah yang kemudian dijadikan dasar oleh Trump untuk memberlakukan apa yang ia sebut "jeda permanen" bagi warga dari sejumlah negara.
Lalu bagaimana dengan Suriah? Larangan masuk bagi warga Suriah dikaitkan dengan otoritas pusat negara itu yang dianggap masih lemah. Meski hubungan diplomatik mulai cair terbukti dengan kunjungan Presiden Suriah Ahmed Al Sharaa ke Gedung Putih November lalu Washington menilai Suriah belum punya sistem penerbitan paspor dan dokumen sipil yang bisa diandalkan. Mekanisme pemeriksaan keamanannya pun dianggap belum memadai.
Namun begitu, kritik tajam mengemuka. Banyak yang menuding ada standar ganda dalam kebijakan ini. Contohnya, pemukim Israel di Tepi Barat yang berstatus ilegal. Sepanjang tahun ini, mereka disebut terlibat dalam pembunuhan setidaknya dua warga AS keturunan Palestina. Tapi, mereka sama sekali tidak masuk dalam pertimbangan larangan perjalanan ini.
Dengan kebijakan barunya ini, Trump diprediksi akan memperpanjang polemik di kancah global. Sekaligus, langkah itu semakin mempertegas garis keras pemerintahannya dalam menyikapi isu imigrasi, keamanan, dan dinamika rumit Timur Tengah.
Artikel Terkait
Pengadilan Paris Paksa PSG Bayar Rp1,2 Triliun ke Mbappe
Java Paragon Surabaya Suguhkan Roasted Smoked BBQ Beef dan Beef Wellington untuk Malam Natal
Garuda Pertiwi Siap Balas Dendam, Tembus Sejarah di Laga Perunggu
Ekspor Jepang Cetak Rekor, Sinyal Kuat untuk Kenaikan Suku Bunga BOJ