Di balik keputusannya, terdapat minat akademis yang kuat. Latar belakang keluarganya mendukung pilihan ini—ayahnya mantan dosen filsafat sementara ibunya seorang arsitek. Ketecerdasannya terbukti ketika dia meraih nilai A untuk matematika, ekonomi, dan sejarah dalam ujian A-Level.
Willhoft-King sebenarnya pernah merencanakan kuliah di Amerika Serikat dan bahkan menerima tawaran dari UCLA. Dia sempat menandatangani kontrak dengan FC Cincinnati 2 sebelum akhirnya Manchester City menawarkan kontrak yang menggiurkan.
"Saya merasa akan menyesal jika tidak mengambil kesempatan di Manchester City. Setelah merasakannya, saya akhirnya bisa melangkah pergi dengan lega karena sudah mencoba segalanya," katanya.
Pengalamannya berlatih di bawah Pep Guardiola meninggalkan kesan mendalam. "Melihat Pep... dia sangat, sangat ekspresif. Energinya luar biasa," kenangnya. Namun, rutinitas latihan yang melelahkan secara mental dan kejenuhan terhadap lingkungan sepak bola profesional semakin memperkuat keputusannya.
Kehidupan barunya di Oxford memberikan tantangan yang berbeda. "Saya selalu merasa kurang terstimulasi di sepak bola. Sekarang saya bahkan kesulitan mencari waktu dalam sehari," ujarnya tentang jadwal kuliah yang padat.
"Jika saya bermain di League One atau Championship, saya bisa mendapat uang yang bagus. Tapi apakah saya akan menikmatinya? Saya tidak yakin. Dunia akademik memberi jaminan masa depan yang lebih panjang daripada karier sepak bola 10-15 tahun," tegas Willhoft-King.
Keputusan Willhoft-King ini mencerminkan pergeseran paradigma di kalangan atlet muda yang mulai mempertimbangkan masa depan jangka panjang di luar karir olahraga profesional.
Artikel Terkait
RCTI Amankan Tikel Semifinal, Siap Pertahankan Gelar Juara
Bolmong Amankan Tiket Semifinal Porprov Sulut Usai Taklukkan Boltim Lewat Drama Adu Penalti
Perez: Derbi Jatim Persebaya Vs Arema Setara El Clasico
GBLA Bergemuruh, Persib Hadapi Ujian Berat Melawan Dewa dan Mantan Pahlawannya