"Kemarin kan buruh angkat (porter) angkat barang, saya bilang, 'Pak, sekarang udah rapi ya, bajunya udah bagus ya' saya bilang gini. Kemarin itu dia bilang 'Iya, sekarang kita udah tertib, Bu'," kata Tuti menceritakan kembali.
Dia juga mengapresiasi transformasi makanan yang disediakan untuk penumpang. Tuti menyebut rasa dan pengemasan makanan di kapal saat ini sudah sangat baik.
"Makan enak, habis mulu dari kemarin. Ada snack, ada ayak susu tadi itu. Sampai dari tadi (cucu saya) protes katanya 'loh, nggak ada stroberi'. Saya bilang, 'Orangnya belum beli di toko'," tutur Tuti sambil tertawa.
Tuti menyebut membayar sekitar Rp 700 ribu untuk berlayar selama empat hari ke Ambon. Harga itu jauh lebih murah dibanding menggunakan pesawat.
Bagi Tuti kapal laut menjadi transportasi penting dan ekonomis, terlebih saat harus menjangkau saudara-saudaranya yang berada di pulau pulau kecil di mana hanya kapal laut yang dapat menjangkau kawasan itu.
"Saya juga pernah ke Pulau TNS (Teon Nila Serua), memang kita naik eh kaya kapal sabuk (kapal perintis) untuk ke sana buat misalnya ambil cengkeh," imbuh Tuti.
"Nggak ada darat, nggak bisa lewat darat. Satunya, satunya laut, sangat bergantung," lanjut dia.
Tuti berharap Pelni sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberikan penugasan untuk pelayaran kapal penumpang yang multi port dapat terus meningkatkan pelayanannya.
"Sebenarnya Pelni tingkatkan saja kualitasnya, kualitas pelayaran. Kebanyakan penumpang kita kan mungkin masyarakat ekonomi ke bawah. Itu aja, itu aja sih harapan saya," pungkasnya.
Artikel Terkait
Enam Pejabat Cianjur Lepas Jabatan, Terbaru Kepala Dinas Pariwisata Beralih ke Posisi Fungsional
Solidaritas dari Ujung Timur: Papua Bantu Rp 406 Juta untuk Korban Bencana Aceh
Bupati Serang Tinjau Banjir Kajeroan, Warga Bertahan Demi Jaga Harta
Jenazah Dua Nelayan Indonesia Ditemukan Terdampar di Pantai Portugal