"Ini adalah generasi baru Golkar. Ini generasi baru Golkar. Ini generasi baru Partai Golkar."
Kalimat itu diucapkan Bahlil Lahadalia dengan nada tegas. Ia menyampaikannya di hadapan peserta Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Partai Golkar tahun 2025 lalu. Pengulangan itu jelas bukan tanpa maksud. Bahlil, sang Ketua Umum DPP, ingin menegaskan satu hal: era baru benar-benar telah dimulai di tubuh partai beringin itu.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan 'generasi baru' ini? Dan yang lebih penting, bagaimana dampaknya bagi masa depan Golkar?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat siapa yang kini memegang kendali. Dan semua itu berawal dari satu momen penting.
Pergantian Generasi yang Nyata
Terpilihnya Bahlil Lahadalia secara aklamasi dalam Munas XI 2024 bukan sekadar pergantian ketua. Itu adalah penanda peralihan generasi. Dari gaya lama yang mungkin lebih berhati-hati, menuju suatu gaya yang lebih progresif dan terbuka terhadap perubahan.
Bahlil sendiri adalah representasi utama dari generasi baru ini. Latar belakangnya berbeda dari kebanyakan elite politik. Ia memulai dari nol, bahkan minus. Pernah jadi pedagang kue, sopir angkot, berjuang keras untuk hidup. Tak ada warisan politik dari keluarga terpandang. Karirnya murni diperjuangkan, bukan diwarisi.
Ini kontras sekali dengan banyak pemimpin lain yang karirnya ditopang nama besar keluarga. Karena itu, Bahlil bukan cuma simbol baru bagi Golkar. Ia juga bisa dilihat sebagai simbol baru bagi kepemimpinan politik Indonesia secara lebih luas.
Selain itu, masa lalu Bahlil sebagai aktivis mahasiswa turut membentuk karakternya. Dunia pergerakan itu mengajarkannya untuk berproses dan membangun jaringan. Ia bisa duduk bersama para pemimpin, tapi pikirannya kerap tertuju pada perjuangan rakyat kecil. Nilai keberpihakan itu melekat, hasil dari pergulatan langsung di lapangan.
Dan yang tak kalah penting, ia adalah produk dari era Reformasi. Saat gelombang perubahan besar mengguncang Indonesia, Bahlil ada di tengah barisan demonstran. Wacana tentang transisi kekuasaan, politik yang progresif, dan sistem yang inklusif mengisi pikirannya. Pengalaman itu pasti membentuk sikap politiknya sekarang.
Karakter kepemimpinan generasi baru ini makin kuat dengan ditunjuknya Muhammad Sarmuji sebagai Sekjen. Belum lagi kehadiran sederet nama seperti Sari Yuliati, Ace Hasan Syadzili, Mukhamad Misbakhun, Said Aldi Al Idrus, dan lainnya di jajaran DPP. Mereka umumnya lahir di masa transisi Orde Baru ke Reformasi. Rekam jejaknya mirip: mulai dari bawah, berlatarbelakang aktivisme, dan bukan dari dinasti politik mapan.
Gaya merekalah yang akan banyak menentukan arah partai ke depan.
Artikel Terkait
Geliat Mudik Akhir Tahun 2025: Truk dan Bus di Bakauheni Naik Signifikan
TransJakarta, MRT, dan LRT Gratis di Malam Tahun Baru Jakarta
Polres Inhu Pamer Prestasi: Gagalkan 300 Kubik Kayu Ilegal hingga Sita Aset Bandar Mak Gadih
Bisnis Keripik Pisang Berujung Maut, Ibu Rumah Tangga di Serang Tewas Ditusuk Rekanan