Amelia melihat, mekanisme pencalonan yang sudah disepakati bersama menunjukkan satu hal: Indonesia dipandang mampu jadi jembatan dialog. Terutama untuk menangani isu-isu HAM yang kerap rumit dan kompleks. Ini adalah peluang strategis untuk menunjukkan kepemimpinan yang mengedepankan kerja sama multilateral.
Namun begitu, politisi itu juga menyelipkan catatan kritis. Baginya, sorotan dan kritik dari publik adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi.
Ujarnya tegas. Pencalonan ini, lanjut Amelia, harus jadi alat ukur sekaligus pendorong untuk mempercepat pembenahan kebijakan HAM di tingkat nasional. Pemerintah dituntut menunjukkan konsistensi antara kata dan tindakan, antara standar internasional dan realita di dalam negeri.
Pada akhirnya, ini lebih dari sekadar kebanggaan di panggung dunia. Ini adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk ikut membentuk tata kelola HAM internasional yang lebih konstruktif. Yang berakar pada dialog, kerja sama, dan tentu saja, penghormatan universal terhadap martabat setiap manusia.
Artikel Terkait
Kemenkes Kerahkan Starlink dan Tim Medis Darurat untuk Tangani Krisis Kesehatan di Sumatera
Pidato Tiga Bahasa Siswa Sekolah Rakyat Sita Perhatian di Acara Doa untuk Sumatra
Dini Hari yang Kelam: Bocah 12 Tahun di Medan Tewaskan Ibu Kandung Saat Tidur
Ragunan Sambut Nataru dengan Kedatangan Sapi Watusi Bertanduk Megah