Banjir Bandang Sumut: Saat Alam Mengingatkan Kembali Kearifan Tano Ni Ompung

- Rabu, 24 Desember 2025 | 19:05 WIB
Banjir Bandang Sumut: Saat Alam Mengingatkan Kembali Kearifan Tano Ni Ompung

Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera akhir tahun lalu benar-benar membuka mata. Bencana itu bukan sekadar peristiwa alam biasa, melainkan pengingat keras tentang betapa rapuhnya keseimbangan lingkungan kita. Alam yang terluka, ternyata, bisa membalas dengan cara yang sangat pahit.

Nah, menariknya, kearifan lokal sebenarnya sudah lama mengingatkan hal ini. Ambil contoh falsafah Batak, Tano Ni Ompung, yang memandang tanah sebagai warisan suci leluhur yang wajib dijaga. Atau prinsip adat bersendi syarak di ranah Minang. Keduanya menempatkan alam bukan sebagai komoditas, tapi sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual kita bersama.

Sayangnya, peringatan itu kerap terabaikan. Dampaknya? Sungguh memilukan. Data dari BNPB menyebutkan lebih dari 1.090 nyawa melayang akibat bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat itu. Sekitar 186 orang masih dinyatakan hilang, dan tak kurang dari 7.000 lainnya menderita luka-luka.

Gambaran kerusakannya luas sekali. Lebih dari 3,3 juta warga terdampak, dengan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi. Bayangkan, ratusan ribu rumah rusak, ditambah fasilitas pendidikan, kesehatan, rumah ibadah, dan jembatan yang hanyut atau putus. Akses transportasi pun lumpuh total di banyak titik.

Lantas, apa akar masalahnya? Banyak pihak, termasuk WALHI, menilai ini adalah bencana ekologis. Bukan sekadar musibah biasa. Tekanan terhadap lingkungan telah berlangsung puluhan tahun, dan akhirnya mencapai titik puncaknya. Tutupan hutan yang terus menyusut dan perubahan fungsi lahan dianggap sebagai biang kerok utama.

Angkanya jelas. Menurut MapBiomas Indonesia, luas hutan di tiga provinsi itu menyusut drastis dari 9,49 juta hektare di tahun 1990, menjadi hanya 8,26 juta hektare di 2024. Penyusutan terbesar terjadi di Sumatera Utara, mencapai lebih dari 500 ribu hektare.

Hilangnya hutan, terutama di daerah hulu, jelas meningkatkan kerentanan. Daerah aliran sungai kehilangan kemampuan menyerap air. Kondisi ini makin parah ketika hujan dengan intensitas ekstrem lebih dari 300 mm mengguyur, seperti yang dicatat BNPB. Hasilnya? Sungai meluap tak terkendali dan lereng-lereng bukit pun ambrol.

Momen Pengingat dan Sarana Kolaborasi


Halaman:

Komentar