Banjir Sumatra 2025: Saat Bencana Menjadi Ujian Terberat bagi Kepercayaan Publik

- Minggu, 21 Desember 2025 | 09:25 WIB
Banjir Sumatra 2025: Saat Bencana Menjadi Ujian Terberat bagi Kepercayaan Publik

Banjir bandang yang menyapu sebagian Sumatra akhir November hingga Desember 2025 lalu, benar-benar menghantam. Bencana hidrometeorologi ini disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar dalam beberapa dekade terakhir. Kerusakannya luar biasa.

Hingga pertengahan Desember, angka resmi dari BNPB sungguh memilukan: 1.016 jiwa meninggal. Masih ada 212 orang lainnya yang hilang, entah di mana. Pengungsian massal terjadi di tiga provinsi, menampung ratusan ribu orang yang kehilangan segalanya.

Infrastruktur hancur berantakan. Jalan, jembatan, sekolah, dan rumah sakit rusak berat. Belum lagi rumah-rumah warga dan lahan pertanian mereka yang terendam lumpur. Kerugian fisiknya mencapai puluhan triliun rupiah. Pemerintah sendiri sudah menganggarkan dana pemulihan sekitar Rp 51,82 triliun. Angka itu, kata mereka, masih mungkin membengkak seiring waktu.

Namun begitu, bagi para penyintas di tiga provinsi itu, bencana ini lebih dari sekadar musibah alam yang datang dan pergi. Ini adalah pengalaman politik yang nyata. Saat di mana mereka menyaksikan langsung bagaimana negara bertindak atau tidak bertindak dalam situasi darurat.

Kegagalan atau kelambanan respons negara tak cuma meninggalkan jejak fisik berupa puing. Lebih dalam dari itu, ia menyentuh ranah psikologis dan memori politik warga. Pengalaman pahit ini akan membentuk memori kolektif. Dan memori itu, pada akhirnya, bisa berubah menjadi keputusan politik di masa depan.

Di sinilah taruhannya besar. Efikasi politik, atau keyakinan bahwa negara bisa diandalkan dan suara rakyat punya arti, sedang diuji. Bukan cuma di atas kertas, tapi di tengah lumpur dan keputusasaan.

Bencana dan Efikasi Politik

Dalam kajian politik, efikasi politik biasanya dibedah jadi dua: internal dan eksternal. Efikasi internal itu keyakinan diri seseorang bahwa ia punya kemampuan untuk ikut serta dalam urusan politik. Kalau ini tinggi, orang cenderung lebih aktif.

Sedangkan efikasi eksternal adalah kepercayaan bahwa institusi politik pemerintah dan para pejabatnya mau dan mampu mendengarkan aspirasi rakyat.

Nah, dalam konteks bencana Sumatra ini, yang paling terancam tergerus justru yang eksternal. Bayangkan saja. Ketika warga melihat respons lambat, komunikasi pejabat yang dingin, atau prosedur berbelit yang justru menghambat bantuan, yang goyah bukan cuma kepercayaan pada satu dua orang. Tapi pada sistem secara keseluruhan.

Mereka yang selamat mulai bertanya-tanya: apa negara ini benar-benar peduli? Atau kami cuma angka statistik belaka? Pada momen seperti inilah, penanganan bencana berubah jadi ujian besar bagi legitimasi negara.

Tapi menariknya, melemahnya kepercayaan pada institusi tidak selalu berakhir dengan sikap apatis total. Justru sering terjadi paradoks. Pengalaman pahit itu bisa memicu critical political awakening kesadaran kritis politik.

Warga jadi belajar, bertanya, dan mengevaluasi ulang janji-janji politik yang pernah diteriakkan saat kampanye dulu, terutama soal lingkungan dan mitigasi bencana. Dengan kata lain, efikasi internal mereka bisa saja menguat, meski kepercayaan pada pemerintah merosot.


Halaman:

Komentar