Di sisi lain, Restu Gunawan, Dirjen Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, menekankan hal yang lebih mendasar. Baginya, penguatan kesadaran sejarah harus dibarengi dengan penguatan kelembagaan dan simbol.
Ia menambahkan, penetapan ini juga mencerminkan komitmen kementeriannya di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mengakui peristiwa historis yang punya makna strategis.
Lebih dari sekadar simbol, Hari Sejarah diharapkan jadi momen refleksi. Terutama di tengah gempuran globalisasi dan dunia digital sekarang. Informasi yang deras dan serba cepat berisiko menyederhanakan cerita, mendistorsi, bahkan memanipulasi fakta sejarah. Tanpa pemahaman kritis yang berbasis penelitian, kita bisa tersesat.
Intinya, pendekatan Indonesia-sentris dalam membaca sejarah menjadi kunci. Sejarah Indonesia bukanlah cerita pasif. Ia adalah hasil dinamika internal bangsa berperadaban tua, yang bertransformasi lewat interaksi dengan dunia, dan akhirnya menentukan jalannya sendiri setelah merdeka.
Harapannya jelas. Momentum ini bisa jadi sarana edukasi, terutama bagi generasi muda. Agar sejarah tidak dilihat sebagai rangkaian tanggal dan peristiwa usang. Melainkan sebagai sumber pembelajaran, nilai, dan inspirasi untuk membangun masa depan.
Artikel Terkait
Tragis di Duren Sawit: Wanita Tewas Terpental, Minibus Kabur Usai Tabrak Korban
Sidang Delpedro Cs. Dimulai, Tuduhan Penghasutan Mengawali Proses Hukum
Ayah Dua Anak dengan Tangan Kosong Melucuti Penembak di Pantai Bondi
Kobaran Api Hanguskan 350 Kios di Pasar Induk Kramat Jati