Sudah setahun berlalu sejak Danantara resmi berdiri. Superholding BUMN ini mengelola aset strategis negara yang nilainya luar biasa besar, lebih dari 14.000 triliun rupiah. Sejak awal, kehadirannya langsung memicu perdebatan sengit.
Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai terobosan besar menuju kemandirian ekonomi. Tapi di sisi lain, muncul kecemasan baru. Apakah langkah ini justru memperkuat dominasi negara di pasar hingga mengkhawatirkan?
Perdebatan itu, sejujurnya, wajar saja. Bayangkan, sebuah institusi baru muncul tiba-tiba dengan modal yang sangat besar, mandat luas, dan implikasi jangka panjang yang masih samar-samar. Wajar jika publik bertanya-tanya.
Tapi, ada pertanyaan yang lebih mendasar. Sebenarnya, masalah apa yang ingin dipecahkan Danantara? Dan apa yang membuatnya berbeda dari kebijakan ekonomi negara sebelumnya?
Bukan Lagi Sekadar Regulator, Tapi Investor Aktif
Selama puluhan tahun, peran negara di ekonomi cenderung sebagai regulator dan fasilitator. Sementara itu, aset-aset strategis negara tercecer di puluhan BUMN yang berjalan sendiri-sendiri, koordinasi antar mereka seringkali lemah.
Fragmentasi ini melahirkan masalah klasik yang tak kunjung usai: daya saing global yang kurang, program yang tumpang tindih, dan inefisiensi struktural yang menghambat industrialisasi.
Nah, di tengah lanskap ekonomi global yang semakin keras dengan persaingan AS-China, perebutan energi, dan arus modal yang bergerak cepat Indonesia butuh arsitektur baru. Kita tak boleh cuma jadi pasar, tapi harus jadi aktor yang diperhitungkan.
Di sinilah letak kebaruan Danantara. Untuk pertama kalinya, Indonesia bergerak dari pola lama. Negara tak lagi sekadar regulator pasif, tapi beralih menjadi investor aktif yang mengelola portofolio strategis secara terpadu.
Langkah ini menempatkan kita sejajar dengan negara-negara yang sudah lebih dulu menerapkan model serupa, sebut saja Tiongkok, Singapura, atau Norwegia.
Danantara bukan cuma menyatukan kepemilikan negara di bank besar, energi, telekomunikasi, dan mineral strategis. Lebih dari itu, ia menciptakan satu entitas yang punya kemampuan merancang strategi investasi lintas sektor. Bisa mengambil risiko untuk jangka panjang, dan menata ulang struktur ekonomi dengan visi yang lebih menyeluruh.
Kemampuan macam ini mustahil datang dari kementerian atau BUMN yang bekerja sendiri-sendiri. Setiap institusi punya batasan birokrasi, orientasi jangka pendek, dan struktur keuangan yang tak selalu siap menanggung risiko besar.
Danantara hadir untuk mengisi celah itu.
Transformasi ini makin relevan ketika kita lihat keterbatasan instrumen pembangunan tradisional. APBN sudah di batas optimal untuk membiayai agenda besar seperti hilirisasi, digitalisasi, atau ketahanan energi.
Sementara itu, jumlah uang beredar di dalam negeri nyaris mencapai sepuluh ribu triliun rupiah. Angka yang menunjukkan betapa besarnya potensi modal domestik yang selama ini berputar tanpa arah strategis dari negara.
Dalam kondisi seperti ini, negara butuh mekanisme untuk masuk ke pasar modal, baik domestik maupun global. Bukan sebagai pemungut pajak atau pembuat aturan semata, tapi sebagai pemain yang bisa menggerakkan investasi.
Danantara adalah mekanisme baru itu. Ia memberi negara kesempatan membiayai industrialisasi tanpa membebani fiskal secara langsung. Dengan struktur fleksibel dan kemampuan mobilisasi modal, Danantara menjembatani kebutuhan pembangunan yang kompleks dan kapasitas fiskal yang terbatas.
Jadi, kehadirannya bukan cuma soal konsolidasi kelembagaan. Ini adalah desain ulang peran negara dalam ekonomi. Pergeseran paradigma dari pembelanjaan berbasis anggaran, menuju investasi berbasis kekuatan portofolio nasional.
Dan itulah titik pembeda utamanya.
Mengurai Hambatan yang Sudah Puluhan Tahun Mengakar
Studi makroekonomi selama beberapa dekade menunjukkan pola yang berulang di banyak negara berkembang. Modal domestik sebenarnya ada, bahkan besar, tapi sulit diubah jadi investasi yang benar-benar produktif.
Masalahnya bukan pada kurangnya dana. Tapi pada hambatan klasik yang terus membayangi: kapasitas perencanaan proyek yang lemah, koordinasi antar kementerian lambat, mekanisme pengadaan berantakan, dan campur tangan politik yang kerap membuat keputusan ekonomi jadi tidak rasional.
Dari sinilah lahir paradoks: anggaran pembangunan naik, tapi kualitas proyek justru stagnan atau malah turun.
Di sinilah kebaruan kedua Danantara mencoba menjawab. Dengan struktur yang berorientasi pada prinsip investasi pasar bukan mekanisme birokrasi ia berusaha keluar dari perangkap pengeluaran publik tradisional.
Artikel Terkait
Di Tengah Keluhan Inflasi, Pendukung Trump Tetap Percaya Hanya Dia Jawabannya
Banjir Bandang Tapanuli Ungkap Gelondongan Kayu, Polri Naikkan Status ke Penyidikan
Korban Kebakaran Terra Drone Mulai Dikenali, 10 dari 22 Jenazah Teridentifikasi
Pasca Kebakaran Maut Kemayoran, Pemprov DKI Bakal Razia Ketat Gedung Tumbuh