Pada tahun 1883, dengan tekanan dari pemerintah kolonial, Ratu Sekar Kedaton dan putranya akhirnya dibuang ke Manado secara diam-diam. Pengasingan ini merupakan strategi politik untuk menyingkirkan pengaruh mereka dari pusat kekuasaan.
Kehidupan di Pengasingan Manado
Selama dalam pengasingan, Ratu Sekar Kedaton menetap di Kampung Pondol, wilayah yang kini termasuk kelurahan Rikek, Kecamatan Wenang, Manado. Hidup dalam kesepian dan keterasingan, ia tetap menjaga martabatnya sebagai bangsawan Jawa.
Bersama putranya, mereka hidup dalam keterbatasan, jauh dari lingkungan istana yang seharusnya menjadi tempat Pangeran Timur Muhammad belajar memimpin.
Akhir Hidup yang Tragis
Kisah ini berakhir dengan kepiluan. Pangeran Suryangalaga wafat lebih dahulu di pengasingan tanpa gelar kebangsawanan. Lahir dari garis raja tetapi meninggal sebagai orang buangan.
Ratu Sekar Kedaton menyusul kepergian putranya pada tahun 1918 di tanah yang tak pernah mengenal upacara keraton. Mereka berdua pergi tanpa gelar, tanpa mahkota, meninggalkan warisan sejarah tentang perjuangan martabat di tengah tekanan politik kolonial.
Warisan Sejarah yang Terlupakan
Kisah Ratu Sekar Kedaton bukan hanya bagian dari sejarah Kesultanan Yogyakarta, tetapi juga potret bagaimana perempuan Jawa pada masa lampau memiliki peran dan suara yang kuat dalam politik. Meski diasingkan dari istana, namanya tetap hidup dalam catatan sejarah sebagai sosok perempuan tangguh yang mempertahankan hak dan kehormatan keluarganya hingga akhir hayat.
Artikel Terkait
Profesor Gizi Dinilai Ringankan Bahaya Makanan Ultra-Proses, Dokter Basuki Angkat Bicara
Israel Klaim Tewaskan Otak Serangan Iran dalam Serangan Udara ke Lebanon
Penggali Kubur Gaza: 18.000 Jenazah dan Sebuah Kesaksian yang Tak Terkubur
Deru Dua Ribu Ekskavator: Ketika Papua Menjadi Sasaran Penguasaan Lahan