Pernyataan Megawati Soal Gelar Pahlawan Soeharto Dinilai Emosional
Aktivis Papua, Charles Kossay, menilai pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, merupakan sebuah luapan emosional. Dia menyebut emosi tersebut berpotensi membuka kembali luka lama politik bangsa Indonesia.
Menurut Charles, komentar dari Megawati itu kurang tepat jika dijadikan dasar untuk menilai kelayakan seseorang memperoleh gelar pahlawan nasional.
"Pernyataan Bu Mega sebagai tokoh yang kita teladani terkesan emosional dan tidak bijak. Jika setiap peristiwa masa lalu dijadikan ukuran, maka bangsa ini akan mengalami kemunduran. Bukan mengambil pelajaran, tetapi justru memperpanjang dendam antarkelompok," kata Charles dalam keterangannya.
Politik Harus Dibangun Atas Dasar Ide, Bukan Dendam
Charles Kossay mengingatkan bahwa politik yang diwariskan kepada generasi muda seharusnya dibangun atas dasar ide dan perjuangan, bukan atas dasar iri hati atau luka masa lalu.
Dia menilai, meskipun kisah sulitnya pemakaman Presiden Soekarno memang menyentuh hati, hal itu tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk menolak jasa kepemimpinan nasional Soeharto secara keseluruhan.
"Perlu berjiwa besar untuk mengakui perjuangan Soeharto selama memimpin Indonesia. Selama 32 tahun kepemimpinannya, banyak infrastruktur dibangun, ekonomi tumbuh, dan pendidikan berkembang. Catatan jasa itu tidak bisa dihapus hanya karena luka pribadi," tegasnya.
Artikel Terkait
Di Balik Dadu Gurak: Ketika Adat dan KUHP Beradu di Teras Pak Mantir
Program Makan Bergizi: Ketika Jerawat Remaja Jadi Target dan Nanas Dibagi untuk Lima Hari
Muslim Arbi Desak Prabowo Pecat Bahlil, Sebut Tambang Picu Perpecahan NU
Dari Piagam Madinah ke Nakba: Jejak Panjang Pengkhianatan dan Perjuangan di Tanah Palestina