Di tengah perdebatan mengenai utang dan membengkaknya biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh), Presiden Joko Widodo menyebut proyek ini sebagai "investasi sosial" yang memberikan manfaat luas bagi masyarakat. Namun, apakah klaim ini sesuai dengan fakta dan teori inovasi sosial?
Inovasi Sosial Tak Diukur dari Megahnya Proyek
Menurut teori inovasi sosial, suatu proyek disebut "inovasi sosial" bukan karena skala dan teknologinya yang canggih, melainkan karena kemampuannya memperkuat partisipasi publik dan mewujudkan keadilan sosial. Kereta cepat Whoosh justru bertolak belakang dengan prinsip ini karena dibangun secara top-down tanpa pelibatan masyarakat yang memadai.
Masalah transportasi utama di Jakarta dan Bandung sebenarnya terletak pada ketimpangan akses transportasi dalam kota, bukan kecepatan antarkota. Inovasi sosial seharusnya menghubungkan transportasi, perumahan, dan lapangan pekerjaan untuk menciptakan mobilitas sosial yang lebih merata.
Minim Partisipasi dan Transparansi Publik
Proyek Whoosh didesain dan diimplementasikan oleh pemerintah pusat, BUMN, dan investor China tanpa melibatkan masyarakat sekitar maupun pemerintah daerah secara memadai. Padahal, menurut teori open innovation for social impact, nilai sosial hanya dapat tercipta ketika masyarakat terlibat aktif sejak tahap perencanaan hingga evaluasi.
Klaim Manfaat Sosial yang Dipertanyakan
Klaim bahwa Whoosh membantu menurunkan emisi dan menghemat waktu perlu dikaji ulang secara ilmiah. Penelitian terhadap proyek serupa di China menunjukkan bahwa pengurangan emisi baru signifikan setelah 40 tahun operasi, sementara beban lingkungan dan fiskal sudah muncul sejak tahun pertama.
Artikel Terkait
Misteri Pembunuhan Mirawati Terungkap: Motif Awalnya Mencuri, Pelaku Tewas Usai Ditangkap
Biaya Haji 2026 Turun Rp 2 Juta, Bisakah Kualitas Layanan Tetap Terjaga?
Menguak Tabir Kereta Cepat: Mengapa Pilihan Indonesia Ternyata Lebih Mahal?
Aturan Baru Haji 2025 Bikin Kaget: Tunggu 18 Tahun untuk Berangkat Lagi!