Amerika-Israel Tak Lagi Satu Paket

- Selasa, 13 Mei 2025 | 09:25 WIB
Amerika-Israel Tak Lagi Satu Paket


DULU, setiap kali Israel bersin, Amerika Serikat buru-buru menyodorkan sapu tangan dan menutup jendela agar angin tak masuk. Tapi kini, ketika Israel batuk, AS malah sibuk memutar mata ke Arab Saudi, Yaman, bahkan ke meja runding dengan Iran sambil berkata, “Maaf, saya sedang sibuk. Coba kamu ke apotek sendiri.”

Begitulah, dunia berputar. Hubungan Amerika-Israel yang dulu mesra, kini mulai mirip pasangan yang sedang LDR dan saling ghosting. Mungkin karena Netanyahu masih terjebak dalam fantasi masa lalu --masa ketika Trump adalah pencetak kesepakatan, bukan pencipta kesenjangan.

Sang Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, agaknya sedang sibuk naik pohon ego --bukan hanya satu, tapi hutan penuh pohon tuntutan. Ia ingin gencatan senjata, tapi dengan syarat Hamas bubar, senjata dilucuti, perlawanan Palestina disapu bersih, dan Gaza berubah jadi taman hiburan Zionisme.

Masalahnya, Hamas bukan anak sekolah yang bisa disuruh duduk diam, apalagi mengembalikan pistol airnya. Hamas, dalam versi terbaru mereka, sudah siap membentuk pemerintahan teknokratis yang lebih bisa dinegosiasikan, asal satu syarat: senjata kami bukan untuk dibahas.

Karena, kata mereka, senjata itu bukan mainan, melainkan warisan dari sejarah panjang penjajahan yang tak kunjung berhenti. Dan --ini penting-- kami tidak akan menyerah hanya karena Netanyahu punya daftar tuntutan lebih panjang dari naskah Deklarasi Kemerdekaan Israel sendiri.

Kini kita tiba pada drama Amerika Serikat. Negara adidaya ini, seperti dalam sinetron penuh intrik, tampaknya sudah mulai menyusun naskah baru yang tak lagi bertokoh utama Israel. Steve Witkoff, utusan khusus AS untuk Timur Tengah, dilaporkan sebagai sosok anonim yang mengkritik keras Israel dalam pertemuan dengan keluarga para sandera.

Menurut laporan The Times of Israel (9 Mei 2025), Witkoff secara gamblang memperingatkan bahwa “jika Israel tidak segera menyadari situasi, harga dari kegagalan ini akan lebih mahal dari sebelumnya.” Bahkan ia menyebut bahwa Israel akan “ditinggalkan sendirian” jika tak kunjung mendukung gencatan senjata.

Kritik Witkoff ini --yang menariknya dibocorkan ke media atas permintaannya sendiri --menandai perubahan arah sikap Washington yang dulu selalu siap menyokong setiap langkah Tel Aviv. Kini AS tampaknya justru mulai menegaskan batas kesabarannya.

Yang lebih mengejutkan adalah berita baru yang datang dari Gaza. Amerika Serikat dilaporkan telah berhasil mencapai kesepakatan langsung dengan Hamas untuk membebaskan seorang sandera berkewarganegaraan ganda Israel-Amerika, Edan Alexander. Kesepakatan ini dicapai tanpa melibatkan pemerintah Israel.

Hamas mengumumkan bahwa Edan Alexander akan dibebaskan sebagai bagian dari langkah menuju gencatan senjata serta pembukaan akses kemanusiaan ke Jalur Gaza. Perundingan ini dilakukan tanpa partisipasi dari pihak Israel. Dalam kesepakatan ini, terlihat dengan jelas bahwa Amerika mulai mencari jalan diplomatik sendiri, mengesampingkan Israel yang selama ini menjadi pemain utama dalam semua pembicaraan.

Ini langkah diplomasi luar biasa: AS mengabaikan Israel dan berbicara langsung dengan Hamas. Dulu, langkah seperti ini dianggap tabu, tapi kini sepertinya Washington sudah mulai merasa cukup dengan cara lama. “Kami tak butuh izin dari Israel,” kata Dubes AS, sambil melambaikan dokumen perjanjian ke kamera. Sebuah pesan yang jelas: “Lihat, kami bisa bikin pesta sendiri, dan kamu nggak diundang.”

Drama politik ini semakin seru dengan hadirnya Trump dan Biden. Trump, yang dulunya menyanyikan lagu cinta untuk Netanyahu, kini memilih bersikap seperti mantan pacar yang baru sadar dirinya dimanfaatkan. Ia bahkan enggan bertemu Netanyahu jika tidak ada perjanjian gencatan senjata.

Pertanyaan besarnya kini: benarkah AS mulai meninggalkan Israel? Atau ini hanya sandiwara geopolitik untuk menekan Netanyahu agar lebih realistis, alias disuruh turun dari pohon tuntutannya satu per satu? Atau bisa juga, Trump melirik peluang dana dari Saudi?

Karena jika Amerika benar-benar mencabut dukungan total --dan kita tahu itu sangat mungkin terjadi-- Israel akan seperti WiFi tanpa router: tetap berkedip, tapi tak terhubung ke siapa-siapa.

Di saat AS sedang menimbang-nimbang apakah masih relevan terus-terusan membela negara yang tak mau diajak kompromi, dunia Arab mulai merapat ke meja perundingan. Bahkan Iran dan Houthi yang dulu distempel “teroris” ?"sekarang mulai diajak ngobrol di ruang tamu. Ini bukan sekadar sinyal, tapi sirine berbunyi.

Pembebasan Edan Alexander menjadi secercah harapan di tengah konflik yang telah menelan banyak korban. Ini juga memberi sinyal bahwa mungkin, hanya mungkin, ada titik terang untuk perundingan yang lebih konstruktif --tanpa keterlibatan Israel.

Mungkinkah AS akhirnya menemukan bahwa mendukung kebijakan agresif Israel bukan lagi investasi politik yang menguntungkan? Israel bisa saja terus berkeras, tapi jika terlalu keras, bisa patah. Dan AS tampaknya mulai memilih main catur, bukan ikut main perang.

Jadi, jika Netanyahu tak segera turun dari pohon keras kepalanya, ia bisa saja mendapati dirinya tinggal sendirian di hutan, dikelilingi bayangan kesepian diplomatik. Sementara itu, Amerika sudah pergi jalan-jalan ke Arab Saudi, Yaman, dan Iran, sambil tertawa kecil dan berkata, “Maaf, kita putus.”

OLEH: AHMADIE THAHA
Penulis adalah Wartawan Senior
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar