Di era sekarang, dampak satu kalimat pejabat bisa lebih besar ketimbang pasal-pasal kebijakan. Ini bukan soal masyarakat yang jadi lebih sensitif. Ruang komunikasi kita memang sudah berubah total.
Bahasa negara tak lagi hidup di ruang rapat tertutup atau dokumen berdebu. Ia melompat ke linimasa, jadi klip video singkat, judul berita yang provokatif, atau tangkapan layar yang beredar tanpa konteks. Semuanya serba cepat dan seringkali, serba terpotong.
Di sinilah letak persoalannya. Bahasa komunikasi pemerintah jadi hal yang krusial. Ia bukan cuma alat untuk menyampaikan kebijakan, tapi juga instrumen untuk membangun atau justru meruntuhkan kepercayaan. Cara pemerintah berbicara sering menentukan nasib sebuah kebijakan: apakah akan dipahami, diterima, atau malah ditolak mentah-mentan sebelum sempat dijalankan.
Percayalah, kepercayaan publik itu sering runtuh bukan karena kebijakannya salah seratus persen. Tapi karena bahasa yang dipakai gagal menjelaskan, gagal memahami, dan gagal memposisikan warga sebagai subjek yang diajak bicara.
Bahasa sebagai Wajah Kekuasaan
Sejak dulu, bahasa memang selalu jadi bagian dari kekuasaan. Negara berbicara lewat regulasi, pidato, dan pernyataan resmi. Bahasanya punya otoritas tersendiri, bahkan sebelum substansi kebijakan itu sendiri bekerja di lapangan.
Masalahnya, logika yang dipakai seringkali masih kuno: negara sebagai pemberi perintah, warga sebagai penerima. Ini terlihat dari diksi yang dipilih. Kata-kata seperti “diimbau”, “diminta untuk memahami”, atau “masyarakat harus menyadari” terdengar normatif. Namun di baliknya, tersimpan relasi kuasa yang timpang dan berjarak.
Dalam demokrasi modern, relasi semacam ini jelas problematis. Ketika negara terus bersikap dari menara gading, sementara warga bergumul dengan realitas yang kompleks, bahasa bukan lagi jembatan. Ia berubah jadi tembok.
Dan krisis kepercayaan biasanya berawal dari sini. Saat warga merasa cuma diberi tahu, bukan diajak bicara.
Dari Kebijakan ke Persepsi
Di dalam pemerintahan, ada asumsi yang mengakar: yang penting kebijakannya benar, komunikasi urusan belakangan. Padahal, di ruang publik, persepsi sering lebih menentukan daripada niat baik sebuah kebijakan.
Kebijakan yang bagus bisa kehilangan legitimasi kalau disampaikan dengan bahasa yang kaku dan defensif. Sebaliknya, kebijakan yang berat punya peluang lebih besar untuk diterima jika dikomunikasikan dengan jujur dan empati.
Di titik inilah pemerintah sering salah baca. Ketika kritik muncul, respons yang diberikan cenderung berupa klarifikasi teknis atau pembelaan prosedural belaka. Negara sibuk menjelaskan mekanisme, sementara publik sebenarnya sedang bicara tentang dampak yang mereka rasakan.
Dua bahasa ini, sayangnya, kerap tak pernah bertemu.
Ketika Bahasa Menjadi Sumber Polemik
Lihat saja, tidak sedikit polemik di Indonesia yang dipicu oleh satu pernyataan pejabat. Satu potongan kalimat yang dianggap meremehkan atau tidak peka, bisa dengan cepat memicu badai kemarahan di media sosial.
Klarifikasi? Sering datang terlambat. Dan parahnya, bahasa klarifikasi itu sendiri masih terjebak dalam logika pembenaran. Alih-alih meredakan, yang ada malah memperlebar jarak.
Fenomena ini menunjukkan satu hal: bahasa pejabat publik itu tidak pernah benar-benar netral. Ia selalu dibaca dalam konteks kuasa yang melekat pada jabatan si pembicara.
Karena itu, menuntut kehati-hatian berbahasa bukan soal pencitraan. Ini soal tanggung jawab demokratis yang paling dasar.
Artikel Terkait
Liburan Bukan Kemewahan, Tapi Doa Kecil untuk Jiwa yang Lelah
Di Balik Keriuhan Media Sosial, Budaya Perusahaan Ternyata Masih Berjalan dalam Kabut
Mendikbud Ungkap Nasib Sekolah Pasca-Banjir: Ada yang Hilang, Rusak Parah, hingga Harus Direlokasi
Ukraina Bantah Klaim Serangan Drone ke Putin: Tak Ada Bukti, Hanya Akal-Akalan