Bahasa Pejabat di Era Digital: Ketika Satu Kalimat Lebih Tajam dari Seribu Pasal

- Selasa, 30 Desember 2025 | 22:36 WIB
Bahasa Pejabat di Era Digital: Ketika Satu Kalimat Lebih Tajam dari Seribu Pasal

Bahasa Kekuasaan vs Bahasa Pelayanan

Jujur saja, banyak bahasa resmi pemerintah masih berbau bahasa kekuasaan ketimbang bahasa pelayanan. Bahasa kekuasaan menekankan kepatuhan dan ketertiban. Ia kaku, minim dialog, dan tak memberi ruang bagi emosi warga.

Sebaliknya, bahasa pelayanan lahir dari kesadaran bahwa negara hadir untuk melayani. Bahasa jenis ini mengakui keresahan, menjelaskan dengan cara yang mudah dicerna, dan yang penting, membuka ruang untuk bertanya.

Perubahan paradigma pemerintahan mestinya diikuti perubahan cara berbahasa. Tapi yang kerap terjadi, reformasi hanya berhenti pada struktur dan regulasi. Cara negara berbicara luput dari perhatian.

Padahal, bagi kebanyakan warga, bahasa adalah pengalaman pertama mereka berinteraksi dengan negara.

Media Sosial dan Amplifikasi Bahasa

Kehadiran pemerintah di media sosial mempercepat segalanya. Sekarang, satu pernyataan bisa menyebar ke mana-mana hanya dalam hitungan menit.

Di satu sisi, ini peluang emas untuk komunikasi yang lebih langsung. Tapi di sisi lain, kesalahan kecil dalam memilih kata bisa berakibat besar. Dampaknya berlipat ganda.

Ironisnya, banyak instansi yang masih memperlakukan media sosial seperti papan pengumuman digital. Bahasanya tetap datar dan satu arah. Saat respons publik membanjir dengan sentimen negatif, mereka terkejut. Seolah lupa bahwa media sosial adalah ruang dialog yang hidup, bukan etalase statis.

Krisis kepercayaan di era digital ini seringkali bukan karena kurang informasi. Tapi karena kegagalan membaca suasana dan bahasa yang dipakai.

Kepercayaan Tidak Dibangun dengan Instruksi

Kepercayaan publik itu tidak bisa dipaksakan lewat imbauan atau perintah. Ia tumbuh perlahan, dari rasa dipahami dan dilibatkan. Dan dalam proses itu, bahasa memegang peran yang sangat sentral.

Coba bandingkan. Ketika pemerintah berbicara dengan nada menggurui, publik merasa dijauhkan. Tapi ketika nadanya setara dan membuka ruang, publik biasanya lebih bersedia untuk mendengar meski belum tentu setuju.

Intinya, bahasa komunikasi pemerintah harus mencerminkan satu hal sederhana: bahwa warga adalah subjek demokrasi, bukan sekadar objek kebijakan.

Menuju Bahasa Negara yang Lebih Manusiawi

Ini bukan soal menghilangkan otoritas negara. Pemerintah tetap butuh wibawa. Namun, wibawa tidak harus dibangun dari jarak dan kesan angker. Justru, dalam banyak kasus, wibawa yang sejati lahir dari kejujuran dan empati.

Bahasa negara yang manusiawi bukan berarti lembek atau kehilangan ketegasan. Ia adalah tentang menemukan cara untuk tegas tanpa mengabaikan perasaan dan nalar publik.

Kalau kita serius ingin memulihkan kepercayaan, pembenahan tidak bisa hanya berfokus pada kebijakan. Cara negara berbicara harus jadi perhatian utama.

Karena pada akhirnya, bahasa adalah cermin. Dari sanalah publik melihat wajah negaranya yang sebenarnya.


Halaman:

Komentar