“Permintaannya jelas: ambil semua tindakan militer yang diperlukan untuk melindungi warga sipil di Hadramawt dan Al-Mahra,” ujarnya.
Al-Alimi sendiri pekan lalu sudah memperingatkan bahwa langkah-langkah sepihak STC sedang mendorong Yaman ke ambang titik kritis yang sangat berbahaya.
“Mengingat ancaman yang dibawa oleh senjata-senjata ini,” lanjut Al-Maliki, “Angkatan Udara Koalisi melaksanakan operasi terbatas pagi tadi. Sasaran adalah senjata dan kendaraan tempur yang dibongkar dari kedua kapal. Semua didokumentasikan, dan operasi dilakukan sesuai hukum humaniter internasional untuk meminimalkan kerusakan tambahan.”
Sebelum serangan terjadi, Al-Alimi dilaporkan mengadakan kunjungan mendadak ke Riyadh. Agendanya diduga kuat membahas eskalasi militer di selatan Yaman ini.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada laporan resmi soal korban jiwa. Juga belum jelas apakah ada negara lain dalam koalisi yang terlibat langsung dalam serangan. UEA sendiri masih bungkam, belum memberi tanggapan atas permintaan konfirmasi. Saluran berita milik STC, AIC, hanya mengakui adanya serangan tanpa rincian lebih jauh.
Ketegangan Meningkat
Eskalasi ini memicu reaksi cepat dari pemerintah Yaman di Aden. Al-Alimi mengumumkan status darurat selama 90 hari, termasuk blokade total udara, laut, dan darat untuk 72 jam pertama.
Semua ini berawal dari aksi ofensif STC yang menduduki kantor-kantor pemerintah dan bandara di Hadhramaut. Pemicu utamanya konflik dengan suku setempat soal penguasaan ladang minyak.
Mengabaikan perjanjian damai sebelumnya, STC melancarkan kampanye militer besar-besaran awal Desember. Mereka berhasil merebut kendali Hadramaut yang berbatasan dengan Saudi, dan Al-Mahra yang berbatasan dengan Oman.
Pasukan mereka menduduki kota Seiyun, termasuk bandara internasional dan istana presiden di sana. Yang paling krusial, mereka menguasai ladang minyak strategis PetroMasila sumber utama pendapatan minyak Yaman yang tersisa. Perebutan ini memicu bentrokan dengan pasukan suku setempat, menewaskan belasan orang dari kedua pihak.
Akibatnya, produksi minyak yang biasanya 85-90 ribu barel per hari terpaksa dihentikan total.
Bayang-bayah Pemisahan
Di tengah kericuhan ini, gelora separatisme menguat. Para pendukung STC semakin terbuka mengibarkan bendera Yaman Selatan negara yang pernah berdiri sendiri sebelum bersatu dengan utara pada 1990. Aksi unjuk rasa mendukung pemisahan diri berlangsung berhari-hari.
Aksi sepihak STC ini jelas memberi tekanan baru pada hubungan Saudi dan UEA. Dua sekutu dekat di OPEC ini memang tetap bersatu melawan Houthi, tapi di belakang layar, persaingan pengaruh dan kepentingan ekonomi di kawasan semakin tajam beberapa tahun terakhir.
Riyadh dan Abu Dhabi kini berada di posisi yang canggung. Bersekutu di satu medan perang, tapi bersaing, bahkan berseteru, di medan yang lain.
Artikel Terkait
Polda Jatim Larang Konvoi Kendaraan Sambut Tahun Baru 2026
Liburan Bukan Kemewahan, Tapi Doa Kecil untuk Jiwa yang Lelah
Di Balik Keriuhan Media Sosial, Budaya Perusahaan Ternyata Masih Berjalan dalam Kabut
Mendikbud Ungkap Nasib Sekolah Pasca-Banjir: Ada yang Hilang, Rusak Parah, hingga Harus Direlokasi